HUKUM
PACARAN
by
wijaya kusuma, the_jaya’s.bolgspot.com atau www.thejayas.com
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dijadikan
terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa
perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas
dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imran
:14).
Islam
mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang
memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa
cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
Tapi,
cinta seperti apa yang mampu memberikan rasa indah dalam pandangan manusia?
Apakah cinta dalam pacaran termasuk didalamnya?
Pacaran,
sebenarnya bukan bahasa devinitif, karena pengertian dan batasannya tidak sama
buat setiap orang sesuai dengan pengalaman sosio-kulturalnya. Ada beragam
tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara,
atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Bahkan ada juga yang memang
menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh
jenjang pernikahan. Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada
jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh
rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial
dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.
Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa
penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan
antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah
tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan
pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan
aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan
dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal.
Masa
pacaran merupakan masa yang indah bagi muda mudi sudah mengenalnya tapi
terkadang banyak orang yang terjerat dalam masa pacaran tersebut sehingga
melanggar aturan-aturan dari pacaran tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang
pacaran maka kami menyusun makalah sederhana yang kiranya dapat membantu
mahasiswa dalam mengetahui kaidah pacaran itu sendiri. Dalam makalah ini kami
coba membahasnya secara detail apa itu pacaran, bagaimana pacaran dari sudut
pandang islam, pacaran menurut analisis para ahli, hokum pacaran dan
aturan-aturan dalam pacaran.
B.
Tujuan
Tujuan menyusun makalah ini adalah
untuk mengetahui bagaimana etika pacaran dalam konsep islam maupun umum atau
aturan-aturan dalam pacaran supaya tidak terjerumus pada hal yang negative
tentang pacaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Istilah
pacaran tidak bisa lepas dari remaja, karena salah satu ciri remaja yang menonjol adalah rasa senang
kepada lawan jenis disertai keinginan
untuk memiliki. Pada masa ini, seorang remaja biasanya mulai "naksir" lawan jenisnya. Lalu
ia berupaya melakukan pendekatan untuk
mendapatkan kesempatan mengungkapkan isi hatinya. Setelah pendekatannya
berhasil dan gayung bersambut, lalu keduanya mulai berpacaran.
Pacaran
dapat diartikan bermacam-macam, pacaran merupakan waktu bagi sepasang individu
untuk saling mengenal satu dengan yang lain. Pacaran pastinya memiliki efek dan
bias terhadap kehidupan masing-masing baik secara positif maupun negative
tergantung cara menjalaninya. Intinya
dari definisi pacaran di atas adalah jalinan cinta antara seorang remaja dengan
lawan jenisnya. Praktik pacaran juga
bermacam-macam, ada yang sekedar berkirim surat, telepon, menjemput, mengantar atau menemani
pergi ke suatu tempat, apel, sampai ada yang layaknya pasangan suami istri. Di
kalangan remaja sekarang ini, pacaran menjadi identitas yang sangat dibanggakan. Biasanya seorang remaja
akan bangga dan percaya diri jika sudah memiliki pacar. Sebaliknya remaja yang
belum memiliki pacar dianggap kurang
gaul. Karena itu, mencari pacar di
kalangan remaja tidak saja menjadi kebutuhan biologis tetapi juga
menjadi kebutuhan sosiologis. Maka tidak heran, kalau sekarang mayoritas remaja sudah memiliki teman spesial
yang disebut "pacar".
Selama
pacaran itu dilakukan dalam batas-batas yang benar, pacaran dapat mendatangkan
banyak hal positif. Dengan kata lain yang perlu dan harus kita jalani adalah
“pacaran sehat”.
Didalam
pacaran kita hanya dituntut untuk mengenal emosi diri sendiri, tetapi juga
emosi orang lain. Dan yang tak kalah penting adalah bagaimana mengungkapkan dan
mengendalikan emosi dengan baik. Jadi tak bijaksana bila melakukan kekerasan
non fisik, marah-marah, apalagi mengumpat-umpat orang lain termasuk pacar kita.
Tapi bukan dalam arti diam saat timbul masalah, selesaikanlah dengan bijak,
bicarakan secara terbuka. Tanpa keterbukaan akan menimbulkan konflik dalam diri
masing-masing yang bahkan bisa mengarah terhadap rutinitas dan prestasi belajar
maupun bekerja.
B. Pendapat Ahli Tentang Pacaran Sekarang
Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di
kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh
kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga
terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga
percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk
bertukar cerita dan berbagi rasa.
Selama ini tempaknya belum ada
pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada
suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya
pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat
mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia
sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going
steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Bagaimanapun mereka yang berpacaran,
jika kebebasan seksual dalam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri,
maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan
sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih
pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi
mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung
mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi
hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau
bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua.
Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran
itu ?
Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa
pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio
kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan
tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan
terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan
kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral
akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan
peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien
tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut
Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila
seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat
wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).
Dalam kaitan ini peran orang tua sangat
penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus
kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua
membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu
sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk
menikah, adalah segera saja laksanakan.
C.
Konsep
Pacaran Dalam Pandangan Islam
Pacaran
dalam sudut pandang islam terdiri dari dua istilah yang sudah popular dan
dikenal, yaitu ta’aruf dan khitbah,
kedua istilah ini mempunyai dasar yang kuat dalam syariat islam.
1.
Ta’aruf
(Pendekatan)
Dalam Islam sendiri, konsep pacaran tidak dikenal.
Tetapi, bukan berarti Islam acuh tak acuh dan phobia terhadap istilah pacaran.
Banyak literatur yang membahas secara detail kedudukan pacaran dalam islam.
Yang paling terkenal adalah konsep taaruf atau proses perkenalan antara calon
suami dengan calon istri sebelum melangsungkan akad nikah. Meskipun taaruf
tidak sama dengan istilah pacaran secara umum, namun konsep ini mampu menjadi
representasi bahwa Islam turut andil dalam mengatur hubungan antara laki-laki
dan perempuan yang bukan mahram.
Adab bergaul dalam Islam telah diatur sedemikian
rupa sehingga bagi insan yang mampu dan mau berpikir, tidak akan terjerumus
dalam nafsu birahi yang mendorong terjadinya perzinaan. Bukankah Allah SWT
secara jelas memperingatkan manusia yang sedang mabuk cinta dengan firman-Nya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”( QS 17:32)?
Fenomena yang terjadi dikalangan remaja saat ini
sudah jauh meninggalkan konsep taaruf. Dengan mengatas namakan cinta, tidak
sedikit orang yang terbius dalam pergaulan tanpa batas. Cipika-cipiki (cium
pipi kanan, cium pipi kiri) sudah diklaim sebagai hal yang wajar dalam hubungan
lawan jenis. Remaja yang tidak melakukan aktivitas ini dalam masa pacaran
dianggap kuno dan katrok (meminjam istilah Thukul Arwana). Jika hal ini
berlanjut, setan yang terus menguntit dengan leluasa memainkan jurus-jurus
mautnya untuk menyesatkan anak adam ke lembah neraka. Hari ini pegang tangan,
besok cium pipi, kemudian cium bibir dan cium yang lain-lain. Apakah ini yang
namanya cinta? Sungguh naif bagi mereka yang mengartikan cinta sedangkal itu.
Cinta yang seyogyanya mampu menuntun kepada bahtera kebahagiaan, justru
dibelokkan arah menuju lorong penyesalan. Kenikmatan semu sesaat terlalu murah
untuk digadaikan dengan hakikat kelezatan cinta yang bersifat abadi.
Setan pun tertawa karena berhasil membalas dendam
sejarah dan sukses menjalankan misinya. Di sisi lain, manusia yang menjadi
korban cinta fatamorgana ini akan menghabiskan masa hidupnya dengan rasa
bersalah dan penyesalan yang tak berujung. Secara fisik memang tak terlihat,
namun dalam ruang batin dan psikis, luka ini tak akan sembuh seiring dengan
berakhirnya waktu.
Karena itu, pergeseran paradigma pacaran dikalangan
remaja dewasa ini perlu diluruskan oleh semua pihak. Bukan hanya tugas remaja
saja, melainkan dipengaruhi juga oleh faktor lain seperti lingkungan, teman,
keluarga, sekolah dan media massa. Ingatlah! Allah tidak akan merubah nasib
manusia ketika manusia itu sendiri tidak merubahnya.
2.
Khitbah
(Meminang)
Untuk istilah hubungan percintaan antara laki-laki
dan perempuan pranikah, Islam mengenalkan istilah "khitbah
(meminang". Ketika seorang laki-laki menyukai seorang perempuan, maka ia
harus mengkhitbahnya dengan maksud akan menikahinya pada waktu dekat. Selama
masa khitbah,keduanya harus menjaga agar jangan sampai melanggar aturan-aturan
yang telah ditetapkan oleh Islam, seperti berduaan, memperbincangkan aurat,
menyentuh, mencium, memandang dengan nafsu, dan melakukan selayaknya suami
istri.
Ada perbedaan yang mencolok antara pacaran dengan
khitbah. Pacaran tidak berkaitan dengan perencanaan pernikahan, sedangkan
khitbah merupakan tahapan untuk menuju pernikahan. Persamaan keduanya merupakan
hubungan percintaan antara dua insan berlainan jenis yang tidak dalam ikatan
perkawinan. Dari sisi persamaannya, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan
antara pacaran dan khitbah. Keduanya akan terkait dengan bagaimana orang
mempraktikkannya. Jika selama masa khitbah, pergaulan antara laki-laki dan
perempuan melanggar batas-batas yang telah ditentukan Islam, maka itu pun
haram. Demikian juga pacaran, jika orang dalam berpacarannya melakukan hal-hal
yang dilarang oleh Islam, maka hal itu haram.
Jika seseorang menyatakan cinta pada lawan jenisnya
yang tidak dimaksudkan untuk menikahinya saat itu atau dalam waktu dekat,
apakah hukumnya haram? Tentu tidak, karena rasa cinta adalah fitrah yang
diberikan allah, sebagaimana dalam firman-Nya berikut: Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)
Allah telah menjadikan rasa cinta dalam diri manusia
baik pada laki-laki maupun perempuan. Dengan adanya rasa cinta, manusia bisa
hidup berpasang-pasangan. Adanya pernikahan tentu harus didahului rasa cinta.
Seandainya tidak ada cinta, pasti tidak ada orang yang mau membangun rumah
tangga. Seperti halnya hewan, mereka memiliki
instink seksualitas tetapi tidak memiliki rasa cinta, sehingga setiap kali bisa berganti pasangan. Hewan tidak membangun rumah tangga. Menyatakan cinta sebagai kejujuran hati tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karena tidak ada satu pun ayat atau hadis yang secara eksplisit atau implisit melarangnya. Islam hanya memberikan batasan-batasan antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri.
instink seksualitas tetapi tidak memiliki rasa cinta, sehingga setiap kali bisa berganti pasangan. Hewan tidak membangun rumah tangga. Menyatakan cinta sebagai kejujuran hati tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karena tidak ada satu pun ayat atau hadis yang secara eksplisit atau implisit melarangnya. Islam hanya memberikan batasan-batasan antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri.
D.
Pendapat
Islam Dengan Cinta Dan Pacaran
1. Islam
mengakui rasa cinta
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri
manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah
Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
“Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik .”(QS. Ali Imran :14).
Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk
mengejwantahkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur,
ramah dan yang paling penting dari semau itu adalah penuh dengan tanggung-jawab.
Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk
memperlakukannya dengan cara yang paling baik.
Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang paling baik
diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya).
Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku”.
2.
Cinta kepada lain jenis hanya ada
dalam wujud ikatan formal
Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis
itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas.
Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan
nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.
Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah
tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas
kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan
sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan
tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.
Bahkan lebih ‘keren’nya, ucapan janji itu tidaklah
ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka
seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan
untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya,
mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan ‘pengayomnya`.
Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.
Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu
`the real gentleman`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wnaita. Dan
hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul
serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya
hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi the real man.
Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang
membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu
sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak
pernah membenarkan semua itu. Kecuali memang ada hubungan `mahram` (keharaman
untuk menikahi). Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja,
tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang
dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai
masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan
agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.
Sedangkan pemandangan yang lihat dimana ada orang
Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan
bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu
bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental
dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah
dilanda degradasi agama.
Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber
dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu
terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari
satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi
pada agama lain, bahkan justru lebih parah.
3.
Pacaran bukan cinta
Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang
berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah
media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak
berentu sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan
tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan
dengan janji bertemua langsung.
Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah
aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama
sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan
tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada ketentuan tentang kesetiaan dan
seterusnya.
Padahal cinta itu memiliki, tanggung-jawab, ikatan
syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu
tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan
cinta.
4.
Pacaran
bukanlah penjajakan / perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana
untuk saling melakukan penjajakan, perkenalan atau mencari titik temu antara
kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu
tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya dari data yang
diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.
Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah
memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan.
Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,”Wanita
itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya
dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari
Kitabun Nikah Bab Al-Akfa’ fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha’ Bab
Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)
Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila
ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi
yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam
masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebaga
ta’aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab
kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi
terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik,
bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan.
Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak
setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemua dengan suaminya
dalam keadaan tanpa parfum. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah
tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka
akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat
pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada
terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran
bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya sebuah penyesatan dan
pengelabuhan.
Dan tidak heran kita dapati pasangan yang cukup lama
berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan
terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam
hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.
E.
Fatwa
Ulama’ Seputar Pacaran
1.
Syaikh Muhammad
bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang
hubungan
cinta sebelum ni kah
(pacaran)? Jawab
beliau : Jika hubungan itu sebelum akad nikah, baik sudah l amaran
ataupun belum, maka hukumnya haram, karena tidak
boleh seseorang
untuk be rsenang-senang dengan wanita asing (bukan mahramnya) baik lewat ucapan,
memandan g, ataupun berdua-duaan. Sebagaimana telah tsabit
dari Rasulullah SAW, bahwa bel iau bersabda
: "Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita k ecuali bersama mahramnya, dan janganlah
seorang wanita
bepergian kecuali bersama
mahramnya". (Fatwa Islamiyah
kumpulan
Muhammad Al-Musnid 3/80).
2.
Syaikh Abdullah
bin Abdur Rahman Al-Jibrin ditanya : "Kalau ada
seorang laki-lak i yang
berkorespondensi dengan seorang
wanita yang bukan mahramnya,
yang pada ak hirnya mereka saling mencintai, apakah perbuatan itu haram?"
Jawab beliau : Perb uatan
itu tidak diperbolehkan, karena bisa
menimbulkan syahwat di antara keduany a, serta mendorongnya untuk
bertemu dan berhubungan,
yang mana korespondensi sem acam itu
banyak menimbulkan fitnah dan
menanamkan dalam hati seseorang untuk men cintai
perzinaan yang akan bisa
menjerumuskan seseorang pada perbuatan keji, mak a saya
menasehatkan kepada setiap
orang yang menginginkan kebaikan bagi dirinya untuk menghindari surat-suratan, pembicaraan lewat
telepon serta perbuatan semac amnya demi menjaga
agama dan kehormatannya.
3.
Syaikh
Jibrin juga ditanya : "Apa hukumnya
kalau ada seorang pemuda yang belum
m enikah menelepon gadis
yang belum menikah?" Jawab beliau : Tidak boleh berbicara dengan wanita asing
(bukan mahramnya) dengan pembicaraan yang bisa menimbulkan syahwat, seperti rayuan, mendayukan suara baik lewat telepon maupun lainnya. Seb
agaimana firman Allah ta'ala :
"Dan janganlah kalian
melembutkan suara, sehingga akan berkeinginan orang-orang yang hatinya terdapat penyakit." (QS. Al-Ahzab
: 32). Adapun kalau pembicaraan itu
untuk sebuah keperluan, maka hal itu tidak men gapa apabila selamat dari fitnah, akan
tetapi hanya sekedar
keperluan. (Fatawa I slamiyah 3/97).
F.
Hukum
Pacaran
Setelah memperhatikan ayat dan hadits beserta fatwa ulama’di atas, maka tidak diragukan lagi bahwa p acaran itu haram, karena beberapa sebab berikut
Setelah memperhatikan ayat dan hadits beserta fatwa ulama’di atas, maka tidak diragukan lagi bahwa p acaran itu haram, karena beberapa sebab berikut
1.
Orang yang sedang pacaran tidak mungkin menundukan pandangannya terhadap
keka
sihnya.
2.
Orang yang sedang pacaran tidak akan bisa menjaga hijab.
3.
Orang yang sedang pacaran biasanya sering berdua-duaan dengan kekasihnya, bai k di dalam
rumah
atau di luar rumah.
4.
Wanita akan bersikap manja
dan
mendayukan
suaranya saat
bersama kekasihnya.
5.
Pacaran identik dengan
saling menyentuh
antara laki-laki
dengan
wanita, meski pun itu hanya
jabat tangan.
6.
Orang yang sedang pacaran, bisa dipastikan selalu membayangkan orang
yang dicintainya.
Dalam kamus
pacaran, hal-hal tersebut adalah lumrah dilakukan, padahal
satu hal saja cukup
untuk mengharamkan pacaran, lalu bagaimana kalau semuanya?
G.
Aturan-Aturan
Pergaulan Lawan Jenis
Ada beberapa etika yang
mesti diperhatikan oleh seorang muslim ketika bergaul dengan lawan jenis.
(Usyikum wa iyyaya nafsi)
1. Menundukan
pandangan terhadap lawan jenis
Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukan
pandangannya, sebagaimana firman-Nya, artinya, "Katakanlah kepada
laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya." (QS. An-Nûr: 30). Sebagaimana hal ini juga
diperintahkan kepada wanita beriman, Allah berfirman, artinya, "Dan
katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan memelihara kemaluan-nya." (QS. An-Nûr: 31).
2. Menutup
aurat
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan
janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya." (QS.
An-Nûr: 31).
Juga
firman-Nya, artinya, "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzâb: 59).
3. Adanya
pembatas antara laki-laki dengan wanita
Seseorang yang memiliki keperluan terhadap
lawan jenisnya,
harus menyampaikannya
dari balik
tabir pembatas.
Sebagaimana firman-Nya,
artinya, "Dan apabila kalian
meminta sesuatu
kepada mereka
(para wanita) maka mintalah
dari balik
hijab." (QS. Al-Ahzâb:
53).
4. Tidak
berdua-duaan
dengan lawan
jenis
Dari Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu
‘Anhu berkata,
"Saya mendengar Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda,
"Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan
wanita kecuali
wanita itu
bersama mahramnya."
(HR. Bukhârî 9/330, Muslim 1341).
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam juga
bersabda, "Janganlah salah
seorang dari
kalian berdua-duaan dengan
seorang wanita,
karena setan
akan menjadi
yang ketiganya." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzî
dengan sanad
shahih).
5. Tidak
mendayukan ucapan
Seorang
wanita dilarang
mendayukan ucapan saat
berbicara kepada selain
suami. Firman
Allah Subhaanahu wa Ta'ala,
artinya, "Hai istri-istri Nabi,
kamu sekalian
tidaklah seperti wanita
yang lain, jika kamu bertakwa.
Maka janganlah
kamu tunduk
dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya
dan ucapkanlah
perkataan yang baik." (QS.
Al-Ahzâb: 32).
Berkata
Imam Ibnu Katsîr—rahimahullâh,
"Ini adalah beberapa
etika yang diperintahkan oleh
Allah kepada para istri Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam serta
para wanita Mukminah lainnya,
yaitu hendaklah
dia kalau
berbicara dengan orang
lain tanpa suara merdu,
dalam artian
janganlah seorang wanita
berbicara dengan orang
lain sebagaimana dia berbicara
dengan suaminya."
(Tafsîr Ibnu
Katsîr: 3/530).
6. Tidak
menyentuh lawan jenis
Dari Ma'qil
bin Yasâr t berkata, "Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa
Sallam bersabda,
"Seandainya kepala seseorang
ditusuk dengan
jarum besi
itu masih
lebih baik
dari pada
menyentuh wanita yang tidak
halal baginya." (HR. Thabrânî dalam
Mu'jam al
Kabîr: 20/174/386).
Berkata
Syaikh Al-Albânî—rahimahullâh,
"Dalam hadits ini
terdapat ancaman keras
terhadap orang-orang
yang menyentuh wanita yang tidak
halal baginya." (Ash-Shohîhah: 1/448).
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam tidak
pernah menyentuh
wanita meskipun
dalam saat-saat penting
seperti membaiat
dan lain-lain. Dari 'Aisyah berkata,
"Demi Allah, tangan Rasulullah
tidak pernah
menyentuh tangan wanita
sama sekali
meskipun saat membaiat."
(HR. Bukhârî 4891).
7. Memisahkan lelaki
dan
wanita
Sebagaimana
dalam solat, lelaki terpisah dari wanita.
Maka, demikian pula etika yang perlu
diterapkan dalam interaksi sosial. Wanita ditempatkan pada suatu bahagian tertentu agar tidak berdesak-desakan dengan
lelaki.
Etika ini dimaksudkan agar tidak memunculkan
peluang fitnah yang terjadi
dari ikhtilath atau berdesak-desakannya lelaki
dan wanita dalam sebuah
majlis atau suasana. Rasulullah
keluar dari masjid, lalu bercampur baur dengan wanita di jalan. Rasul s.a.w bersabda
kepada kaum wanita,
“perlahanlah
atau mundurlah (wanita)
sedikit. Kalian tidak berhak
menguasai jalan, kalian harus berjalan di pinggirnya.”
8. Menghindari khalwat
Yang dimaksudkan dengan khalwat adalah berdua-duaan
antara lelaki dan perempuan di tempat yang sepi. Kegiatan khalwat seperti itu
boleh mendatangkan kemudharatan, walaupun tujuannya adalah untuk melakukan
kebaikan.
Nabi s.a.w bersabda, “Janganlah seorang lelaki berkhalwat dengan
seorang wanita kecuali disertai mahramnya” (HR Bukhari)
9. Menjauhi perbuatan dosa
Lelaki dan wanita beriman perlulah sentiasa menjauhi perbuatan dosa yang nampak dan tidak nampak dalam berinteraksi. Dia antara dosa yang nampak adalah meninggalkan etika syar’I
dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Sedangkan dosa yang tak nampak adalah berkembangnya perasaan senang terhadap
sesuatu yang
haram
dan berharap
boleh
mendapatkan yang lebih
banyak lagi.
Dan tinggalkanlah dosa yang nampak
dan yang
tersembunyi.
Sesungguhnya
orang yang
mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang
mereka telah kerjakan (6:120)
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulanya
1. Pacaran
merupakan waktu bagi sepasang individu untuk saling mengenal satu dengan yang
lain.
2.
Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur
Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan
hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love
(cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement
(tunangan).
3.
Pacaran
hukumnya haram berdasarkan dalil syaraq yang kuat.
4. Orang
yang sedang pacaran tidak
mungkin menundukan
pandangannya terhadap kekasihnya.
Awal munculnya
rasa cinta
itu pun adalah
dari seringnya
mata memandang
kepadanya.
5. Orang
yang sedang pacaran biasanya
sering berdua-duaan dengan
kekasihnya, baik di
dalam rumah
atau di
luar rumah
6. Wanita
akan bersikap
manja dan
mendayukan suaranya saat
bersama kekasihnya.
7. Pacaran
identik dengan
saling menyentuh
antara laki-laki dengan
wanita, meskipun
itu hanya
jabat tangan.
8. Orang
yang sedang pacaran, bisa
dipastikan selalu membayangkan
orang yang dicintainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
HTPP: the_jaya's.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar