Jumat, 13 April 2012

HUKUM PACARAN, HUKUM NEGARA, HUKUM ADAT, HUKUM MASAYARKAT


HUKUM PACARAN
by wijaya kusuma, the_jaya’s.bolgspot.com atau www.thejayas.com

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imran :14).
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
Tapi, cinta seperti apa yang mampu memberikan rasa indah dalam pandangan manusia? Apakah cinta dalam pacaran termasuk didalamnya?
Pacaran, sebenarnya bukan bahasa devinitif, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang sesuai dengan pengalaman sosio-kulturalnya. Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan. Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap. Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal.
Masa pacaran merupakan masa yang indah bagi muda mudi sudah mengenalnya tapi terkadang banyak orang yang terjerat dalam masa pacaran tersebut sehingga melanggar aturan-aturan dari pacaran tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang pacaran maka kami menyusun makalah sederhana yang kiranya dapat membantu mahasiswa dalam mengetahui kaidah pacaran itu sendiri. Dalam makalah ini kami coba membahasnya secara detail apa itu pacaran, bagaimana pacaran dari sudut pandang islam, pacaran menurut analisis para ahli, hokum pacaran dan aturan-aturan dalam pacaran.
B.     Tujuan
Tujuan menyusun makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana etika pacaran dalam konsep islam maupun umum atau aturan-aturan dalam pacaran supaya tidak terjerumus pada hal yang negative tentang pacaran.

 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Istilah pacaran tidak bisa lepas dari remaja, karena salah satu ciri  remaja yang menonjol adalah rasa senang kepada lawan jenis disertai  keinginan untuk memiliki. Pada masa ini, seorang remaja biasanya  mulai "naksir" lawan jenisnya. Lalu ia berupaya melakukan pendekatan  untuk mendapatkan kesempatan mengungkapkan isi hatinya. Setelah pendekatannya berhasil dan gayung bersambut, lalu keduanya mulai  berpacaran.
Pacaran dapat diartikan bermacam-macam, pacaran merupakan waktu bagi sepasang individu untuk saling mengenal satu dengan yang lain. Pacaran pastinya memiliki efek dan bias terhadap kehidupan masing-masing baik secara positif maupun negative tergantung cara menjalaninya.  Intinya dari definisi pacaran di atas adalah jalinan cinta antara seorang remaja dengan lawan jenisnya. Praktik  pacaran juga bermacam-macam, ada yang sekedar berkirim surat,  telepon, menjemput, mengantar atau menemani pergi ke suatu tempat, apel, sampai ada yang layaknya pasangan suami istri. Di kalangan remaja sekarang ini, pacaran menjadi identitas yang  sangat dibanggakan. Biasanya seorang remaja akan bangga dan percaya diri jika sudah memiliki pacar. Sebaliknya remaja yang belum  memiliki pacar dianggap kurang gaul. Karena itu, mencari pacar di  kalangan remaja tidak saja menjadi kebutuhan biologis tetapi juga menjadi kebutuhan sosiologis. Maka tidak heran, kalau sekarang  mayoritas remaja sudah memiliki teman spesial yang disebut "pacar".
Selama pacaran itu dilakukan dalam batas-batas yang benar, pacaran dapat mendatangkan banyak hal positif. Dengan kata lain yang perlu dan harus kita jalani adalah “pacaran sehat”.
Didalam pacaran kita hanya dituntut untuk mengenal emosi diri sendiri, tetapi juga emosi orang lain. Dan yang tak kalah penting adalah bagaimana mengungkapkan dan mengendalikan emosi dengan baik. Jadi tak bijaksana bila melakukan kekerasan non fisik, marah-marah, apalagi mengumpat-umpat orang lain termasuk pacar kita. Tapi bukan dalam arti diam saat timbul masalah, selesaikanlah dengan bijak, bicarakan secara terbuka. Tanpa keterbukaan akan menimbulkan konflik dalam diri masing-masing yang bahkan bisa mengarah terhadap rutinitas dan prestasi belajar maupun bekerja.
B.     Pendapat Ahli Tentang  Pacaran Sekarang
Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.
Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual dalam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ?
Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).
Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.
C.    Konsep Pacaran Dalam Pandangan Islam
Pacaran dalam sudut pandang islam terdiri dari dua istilah yang sudah popular dan dikenal, yaitu ta’aruf dan khitbah,  kedua istilah ini mempunyai dasar yang kuat dalam syariat islam.
1.      Ta’aruf (Pendekatan)
Dalam Islam sendiri, konsep pacaran tidak dikenal. Tetapi, bukan berarti Islam acuh tak acuh dan phobia terhadap istilah pacaran. Banyak literatur yang membahas secara detail kedudukan pacaran dalam islam. Yang paling terkenal adalah konsep taaruf atau proses perkenalan antara calon suami dengan calon istri sebelum melangsungkan akad nikah. Meskipun taaruf tidak sama dengan istilah pacaran secara umum, namun konsep ini mampu menjadi representasi bahwa Islam turut andil dalam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Adab bergaul dalam Islam telah diatur sedemikian rupa sehingga bagi insan yang mampu dan mau berpikir, tidak akan terjerumus dalam nafsu birahi yang mendorong terjadinya perzinaan. Bukankah Allah SWT secara jelas memperingatkan manusia yang sedang mabuk cinta dengan firman-Nya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”( QS 17:32)?
Fenomena yang terjadi dikalangan remaja saat ini sudah jauh meninggalkan konsep taaruf. Dengan mengatas namakan cinta, tidak sedikit orang yang terbius dalam pergaulan tanpa batas. Cipika-cipiki (cium pipi kanan, cium pipi kiri) sudah diklaim sebagai hal yang wajar dalam hubungan lawan jenis. Remaja yang tidak melakukan aktivitas ini dalam masa pacaran dianggap kuno dan katrok (meminjam istilah Thukul Arwana). Jika hal ini berlanjut, setan yang terus menguntit dengan leluasa memainkan jurus-jurus mautnya untuk menyesatkan anak adam ke lembah neraka. Hari ini pegang tangan, besok cium pipi, kemudian cium bibir dan cium yang lain-lain. Apakah ini yang namanya cinta? Sungguh naif bagi mereka yang mengartikan cinta sedangkal itu. Cinta yang seyogyanya mampu menuntun kepada bahtera kebahagiaan, justru dibelokkan arah menuju lorong penyesalan. Kenikmatan semu sesaat terlalu murah untuk digadaikan dengan hakikat kelezatan cinta yang bersifat abadi.
Setan pun tertawa karena berhasil membalas dendam sejarah dan sukses menjalankan misinya. Di sisi lain, manusia yang menjadi korban cinta fatamorgana ini akan menghabiskan masa hidupnya dengan rasa bersalah dan penyesalan yang tak berujung. Secara fisik memang tak terlihat, namun dalam ruang batin dan psikis, luka ini tak akan sembuh seiring dengan berakhirnya waktu.
Karena itu, pergeseran paradigma pacaran dikalangan remaja dewasa ini perlu diluruskan oleh semua pihak. Bukan hanya tugas remaja saja, melainkan dipengaruhi juga oleh faktor lain seperti lingkungan, teman, keluarga, sekolah dan media massa. Ingatlah! Allah tidak akan merubah nasib manusia ketika manusia itu sendiri tidak merubahnya.
2.      Khitbah (Meminang)
Untuk istilah hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan pranikah, Islam mengenalkan istilah "khitbah (meminang". Ketika seorang laki-laki menyukai seorang perempuan, maka ia harus mengkhitbahnya dengan maksud akan menikahinya pada waktu dekat. Selama masa khitbah,keduanya harus menjaga agar jangan sampai melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam, seperti berduaan, memperbincangkan aurat, menyentuh, mencium, memandang dengan nafsu, dan melakukan selayaknya suami istri.
Ada perbedaan yang mencolok antara pacaran dengan khitbah. Pacaran tidak berkaitan dengan perencanaan pernikahan, sedangkan khitbah merupakan tahapan untuk menuju pernikahan. Persamaan keduanya merupakan hubungan percintaan antara dua insan berlainan jenis yang tidak dalam ikatan perkawinan. Dari sisi persamaannya, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan antara pacaran dan khitbah. Keduanya akan terkait dengan bagaimana orang mempraktikkannya. Jika selama masa khitbah, pergaulan antara laki-laki dan perempuan melanggar batas-batas yang telah ditentukan Islam, maka itu pun haram. Demikian juga pacaran, jika orang dalam berpacarannya melakukan hal-hal yang dilarang oleh Islam, maka hal itu haram.
Jika seseorang menyatakan cinta pada lawan jenisnya yang tidak dimaksudkan untuk menikahinya saat itu atau dalam waktu dekat, apakah hukumnya haram? Tentu tidak, karena rasa cinta adalah fitrah yang diberikan allah, sebagaimana dalam firman-Nya berikut: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)
Allah telah menjadikan rasa cinta dalam diri manusia baik pada laki-laki maupun perempuan. Dengan adanya rasa cinta, manusia bisa hidup berpasang-pasangan. Adanya pernikahan tentu harus didahului rasa cinta. Seandainya tidak ada cinta, pasti tidak ada orang yang mau membangun rumah tangga. Seperti halnya hewan, mereka memiliki
instink seksualitas tetapi tidak memiliki rasa cinta, sehingga setiap kali bisa berganti pasangan. Hewan tidak membangun rumah tangga. Menyatakan cinta sebagai kejujuran hati tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karena tidak ada satu pun ayat atau hadis yang secara eksplisit atau implisit melarangnya. Islam hanya memberikan batasan-batasan antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri.
D.    Pendapat Islam Dengan Cinta Dan Pacaran
1.      Islam mengakui rasa cinta
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
“Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .”(QS. Ali Imran :14).
Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mengejwantahkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semau itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.
Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku”.
2.      Cinta kepada lain jenis hanya ada dalam wujud ikatan formal
Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.
Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.
Bahkan lebih ‘keren’nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan ‘pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.
Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `the real gentleman`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wnaita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi the real man.
Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Kecuali memang ada hubungan `mahram` (keharaman untuk menikahi). Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.
Sedangkan pemandangan yang lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.
Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.
3.      Pacaran bukan cinta
Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berentu sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemua langsung.
Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada ketentuan tentang kesetiaan dan seterusnya.
Padahal cinta itu memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.
4.      Pacaran bukanlah penjajakan / perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya dari data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.
Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,”Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa’ fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha’ Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)
Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebaga ta’aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemua dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya sebuah penyesatan dan pengelabuhan.
Dan tidak heran kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.
E.     Fatwa Ulama’ Seputar Pacaran
1.      Syaikh Muhammad  bin   Shaleh Al-Utsaimin ditanya  tentang  hubungan  cinta sebelum   ni kah  (pacaran)? Jawab  beliau : Jika hubungan  itu sebelum   akad  nikah, baik sudah   l amaran  ataupun belum, maka hukumnya haram, karena tidak  boleh seseorang untuk   be rsenang-senang dengan  wanita asing  (bukan mahramnya)  baik lewat ucapan, memandan g,  ataupun berdua-duaan. Sebagaimana telah tsabit dari Rasulullah SAW,  bahwa bel iau bersabda : "Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan  seorang  wanita  k ecuali bersama   mahramnya,  dan  janganlah  seorang wanita bepergian kecuali  bersama mahramnya".   (Fatwa Islamiyah  kumpulan  Muhammad  Al-Musnid  3/80).
2.      Syaikh Abdullah bin   Abdur  Rahman Al-Jibrin  ditanya : "Kalau   ada  seorang laki-lak i yang  berkorespondensi dengan  seorang wanita yang  bukan  mahramnya,  yang  pada  ak hirnya mereka  saling mencintai, apakah   perbuatan itu  haram?"   Jawab  beliau : Perb uatan itu  tidak diperbolehkan, karena bisa menimbulkan  syahwat di antara  keduany a, serta mendorongnya  untuk   bertemu dan  berhubungan, yang  mana korespondensi sem acam itu banyak  menimbulkan  fitnah dan  menanamkan dalam  hati  seseorang untuk   men cintai  perzinaan yang  akan  bisa  menjerumuskan seseorang  pada  perbuatan keji, mak a  saya   menasehatkan kepada   setiap orang   yang  menginginkan kebaikan bagi  dirinya untuk   menghindari surat-suratan, pembicaraan lewat telepon  serta perbuatan  semac amnya demi  menjaga  agama dan  kehormatannya.
3.      Syaikh Jibrin  juga ditanya : "Apa hukumnya kalau ada  seorang pemuda yang  belum  m enikah menelepon   gadis yang  belum  menikah?" Jawab  beliau : Tidak   boleh berbicara dengan  wanita asing  (bukan mahramnya)  dengan  pembicaraan yang  bisa menimbulkan syahwat, seperti  rayuan, mendayukan  suara baik lewat telepon maupun lainnya. Seb agaimana   firman Allah ta'ala : "Dan janganlah kalian  melembutkan  suara, sehingga akan  berkeinginan orang-orang yang  hatinya terdapat penyakit." (QS.  Al-Ahzab  : 32). Adapun kalau pembicaraan itu  untuk   sebuah keperluan,  maka hal itu tidak men gapa  apabila selamat dari fitnah,  akan  tetapi hanya  sekedar keperluan.  (Fatawa I slamiyah 3/97).
F.      Hukum Pacaran
Setelah  memperhatikan ayat  dan  hadits beserta fatwa ulama’di atas,  maka tidak diragukan lagi  bahwa p acaran itu  haram, karena beberapa sebab   berikut
1.      Orang  yang  sedang pacaran tidak  mungkin  menundukan  pandangannya terhadap  keka sihnya.
2.      Orang  yang  sedang pacaran tidak  akan  bisa menjaga  hijab.
3.      Orang  yang  sedang pacaran biasanya  sering  berdua-duaan dengan  kekasihnya, bai k  di dalam  rumah  atau di luar  rumah.
4.      Wanita  akan  bersikap manja  dan  mendayukan  suaranya saat  bersama   kekasihnya.
5.      Pacaran identik  dengan  saling menyentuh  antara laki-laki  dengan  wanita,  meski pun  itu hanya  jabat tangan.
6.      Orang  yang  sedang pacaran, bisa dipastikan selalu  membayangkan orang   yang  dicintainya.
Dalam kamus pacaran, hal-hal  tersebut  adalah lumrah   dilakukan, padahal satu hal saja cukup  untuk   mengharamkan  pacaran, lalu bagaimana kalau  semuanya?
G.    Aturan-Aturan Pergaulan Lawan Jenis
Ada beberapa etika yang mesti diperhatikan oleh seorang muslim ketika bergaul dengan lawan jenis. (Usyikum wa iyyaya nafsi)
1.      Menundukan pandangan terhadap lawan jenis
Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukan pandangannya, sebagaimana firman-Nya, artinya, "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya." (QS. An-Nûr: 30). Sebagaimana hal ini juga diperintahkan kepada wanita beriman, Allah berfirman, artinya, "Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan-nya." (QS. An-Nûr: 31).
2.      Menutup aurat
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya." (QS. An-Nûr: 31).
Juga firman-Nya, artinya, "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzâb: 59).
3.      Adanya pembatas antara laki-laki dengan wanita
Seseorang yang memiliki keperluan terhadap lawan jenisnya, harus menyampaikannya dari balik tabir pembatas. Sebagaimana firman-Nya, artinya, "Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari balik hijab." (QS. Al-Ahzâb: 53).
4.      Tidak berdua-duaan dengan lawan jenis
Dari Ibnu 'Abbâs RadhiyallahuAnhu berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya." (HR. Bukhârî 9/330, Muslim 1341).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda, "Janganlah salah seorang dari kalian berdua-duaan dengan seorang wanita, karena setan akan menjadi yang ketiganya." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzî dengan sanad shahih).
5.      Tidak mendayukan ucapan
Seorang wanita dilarang mendayukan ucapan saat berbicara kepada selain suami. Firman Allah Subhaanahu wa Ta'ala, artinya, "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS. Al-Ahzâb: 32).
Berkata Imam Ibnu Katsîrrahimahullâh, "Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh Allah kepada para istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam serta para wanita Mukminah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya." (Tafsîr Ibnu Katsîr: 3/530).
6.      Tidak menyentuh lawan jenis
Dari Ma'qil bin Yasâr t berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (HR. Thabrânî dalam Mu'jam al Kabîr: 20/174/386).
Berkata Syaikh Al-Albânîrahimahullâh, "Dalam hadits ini terdapat ancaman keras terhadap orang-orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (Ash-Shohîhah: 1/448).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti membaiat dan lain-lain. Dari 'Aisyah berkata, "Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat." (HR. Bukhârî 4891).
7.      Memisahkan  lelaki  dan  wanita
Sebagaimana dalam solat, lelaki terpisah dari wanita. Maka, demikian pula etika yang perlu diterapkan dalam interaksi sosial. Wanita ditempatkan pada suatu bahagian tertentu agar tidak berdesak-desakan dengan lelaki.
Etika ini dimaksudkan agar tidak memunculkan peluang fitnah yang terjadi dari ikhtilath atau berdesak-desakannya lelaki dan wanita dalam sebuah majlis atau suasana. Rasulullah keluar dari masjid, lalu bercampur baur dengan wanita di jalan. Rasul s.a.w bersabda kepada  kaum  wanita,  “perlahanlah  atau  mundurlah  (wanita)  sedikit.  Kalian  tidak  berhak menguasai jalan, kalian harus berjalan di pinggirnya.”
8.      Menghindari        khalwat
Yang dimaksudkan dengan khalwat adalah berdua-duaan antara lelaki dan perempuan di tempat yang sepi. Kegiatan khalwat seperti itu boleh mendatangkan kemudharatan, walaupun tujuannya adalah untuk melakukan kebaikan.
Nabi s.a.w bersabda,  “Janganlah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali disertai mahramnya” (HR Bukhari)
9.      Menjauhi perbuatan dosa
Lelaki dan wanita beriman perlulah sentiasa menjauhi perbuatan dosa yang nampak dan tidak nampak dalam berinteraksi. Dia antara dosa yang nampak adalah meninggalkan etika syar’I dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Sedangkan dosa yang tak nampak adalah berkembangnya perasaan  senang  terhadap  sesuatu  yang  haram  dan  berharap  boleh  mendapatkan  yang  lebih banyak lagi.
Dan  tinggalkanlah  dosa  yang  nampak  dan  yang  tersembunyi.  Sesungguhnya  orang  yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan (6:120)

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulanya
1.      Pacaran merupakan waktu bagi sepasang individu untuk saling mengenal satu dengan yang lain.
2.      Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
3.      Pacaran hukumnya haram berdasarkan dalil syaraq yang kuat.
4.      Orang yang sedang pacaran tidak mungkin menundukan pandangannya terhadap kekasihnya. Awal munculnya rasa cinta itu pun adalah dari seringnya mata memandang kepadanya.
5.      Orang yang sedang pacaran biasanya sering berdua-duaan dengan kekasihnya, baik di dalam rumah atau di luar rumah
6.      Wanita akan bersikap manja dan mendayukan suaranya saat bersama kekasihnya.
7.      Pacaran identik dengan saling menyentuh antara laki-laki dengan wanita, meskipun itu hanya jabat tangan.
8.       Orang yang sedang pacaran, bisa dipastikan selalu membayangkan orang yang dicintainnya.




DAFTAR PUSTAKA
HTPP: the_jaya's.blogspot.com




                                                                                                                                                                                                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar