Rabu, 18 April 2012

SURAT IJIN TK, IJIN USAHA, PERIJINAN


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pemikiran tentang kesejahteraan masyarakat sebenarnya sudah ada sejak terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Alinea ke-IV Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa salah satu tujuan dari pembentukan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan Pemerintah Daerah, yang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan Pemerintah Daerah, membawa implikasi terbukanya peluang pembangunan dengan pendekatan yang lebih sesuai dengan karakteristik wilayah. Pembangunan dengan pendekatan tersebut akan memberi peluang pada percepatan pembangunan daerah termasuk pembangunan daerah yang relative masih terbelakang.
1 Pustaka Yustitia, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga Dan Keempat (Dalam Satu Naskah) Data Wilayah Administrasi 33 Propinsi, 349 Kabupaten Dan 91 Kota Di Seluruh Indonesia, Jakarta : PT. Buku Kita, 2007.

Sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, melalui Pasal 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal 2 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Desentralisasi dan otonomi daerah, secara normatif, mengandung semangat mendekatkan negara pada masyarakat, antara lain melalui pemberian pelayanan publik yang lebih baik dan lebih dekat ke masyarakat lokal.
Secara empirik, desentralisasi dan otonomi daerah yang sudah berjalan selama ini belum mendorong dan belum diikuti dengan perbaikan pelayan publik yang lebih baik. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik orientasi kekuasaan yang sangat kuat, keadaan yang semacam ini menyebabkan birokrasi semakin jauh dari misi utamanya untuk memberikan pelayanan publik sehingga pejabat birokrasi lebih menempatkan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai pelayan atau abdi masyarakat (server / Provider). Kondisi ini membawa implikasi pada buruknya sikap dan prilaku birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan kepada publik, bahkan ada kecendrungan mengabaikan kepentingan masyarakat dan aspirasi yang sangat kuat.
Berkembangnya budaya paternalistik dalam birokrasi sebagai variabel dominan dalam menyelenggarakan pelayanan publik elit politik, ekonomi, birokrasi dan anggota masyarakat yang mempunyai hubungan dekat dengan birokrasi, seringkali memperoleh kemudahan akses dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Diskriminasi pelayanan itu seringkali mengusik rasa keadilan dalam masyarakat yang merasa diperlakukan secara tidak wajar oleh birokrasi publik. Kesempatan dan ruang yang dimiliki publik untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik sangat terbatas, sehingga banyak kebijakan dan program pemerintah tidak responsif serta mengalami kegagalan karena tidak ada dukungan dari masyarakat.
Praktek KKN dalam kehidupan birokrasi yang selama ini terjadi di pusat, telah berpindah kedaerah-daerah, semakin memperburuk citra birokrasi di hadapan masyarakat. Di dalam pelayanan perijinan kepada masyarakat, pelayanan birokrasi menjadi amat sulit dinikmati secara wajar dan bahkan membuat masyarakat membayar mahal dari yang seharusnya.
Rendahnya kemampuan birokrasi dalam merespon kebutuhan masyarakat serta tuntutan global menyebabkan terjadinya krisis kepercayaan terhadap Birokrasi Publik. Hal ini membuat kehidupan masyarakat semakin sulit dan pasif untuk berinisiatif, oleh karena itu kreativitas aparat birokrasi sangat diperlukan dalam upaya pemulihan kondisi kehidupan masyarakat.
Pengalaman emperik di lapangan menunjukan bahwa penyelenggaraan pelayanaan di bidang perijinan masih sangat jauh dalam realitasnya dari apa yang semestinya bahkan masih suka menerima suap karena inefisiensi biaya dan waktu tunggu yang sengaja diciptakan aparat birokrasi. Keluhan yang dirasakan warga masyarakat dalam mengurus permohonan Ijin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disebut IMB adalah pada persoalan kesalahan gambar bangunan, sehingga urusan menjadi lama bahkan harus berulang kali mengajukan persyaratan. Selain itu pemberian Ijin Mendirikan Bangunan yang untuk selanjutnya disebut IMB, selalu membutuhkan proses mekanisme yang panjang, waktu yang lama serta birokrasi yang lamban. Warga masyarakat yang akan mencari Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) harus memperoleh keterangan mulai dari RT, Kelurahan, Kecamatan dan baru masuk ke Dinas Pekerjaan Umum (bagi bangunan industri) sedangkan untuk bangunan biasa atau bukan bangunan Industri dalam wilayah Kota Mataram diajukan kepada bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Mataram. Prosedur yang panjang ini tentu menyita banyak energi yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa. Ketika terjadi kesalahan gambar, prosesnya jadi semakin panjang dan lama.
Aparat sangat lamban memperoses masalah ini. Tuntutan masyarakat semakin meningkat, tetapi birokrasi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak pernah memberikan Respons yang positif. Berbagai fenomena diatas, maka sangat perlu untuk menilai kinerja birokrasi publik di Kota Mataram baik kualitas, kuantitas, efisiensi pelayanan sehingga dapat memotivasi aparat pelaksana, mendorong pemerintah agar lebih memperhatikan masyarakat yang dilayani.
Tuntutan masyarakat akan tegaknya sistem pemerintahan yang baik (Good Governance) dan pemerintahan bersih (Clean Governance) sangat ditentukan oleh ada tidaknya suatu pelayanan yang dapat memuaskan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Sebagaimana tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan semata-mata untuk menciptakan masyarakat sejahtera (Social Welfare) adil dan makmur, secara sosial, ekonomi, politik dan budaya(PasaI 27, 28,29,31 dan 32).
2 Moenir, Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2001, Hal 27

Pelayanan adalah proses menyangkut segala usaha yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam rangka mencapai tujuan. Pelayanan hakekatnya adalah serangkaian kegiatan, karena itu merupakan suatu proses. Sebagai proses, pelayanaan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat. Pelaksanaan pelayanaan dapat diukur, oleh karena itu dapat ditetapkan standar baik dalam waktu yang diperlukan maupun hasilnya. Dengan adanya standar dalam pelayanan maka pada akhirnya dapat memberikan kepuasan pada pihak-pihak yang mendapat layanan".
Pelayanan umum adalah proses pelayanan kepada masyarakat. Menelusuri arti pelayanan umum tidak terlepas dari masalah kepentingan umum, sehingga ada korelasi antara pelayanan umum dan kepentingan umum. Dalam perkembangannya pelayanan umum dapat timbul karena adanya kewajiban sebagai suatu proses penyelenggaraan kegiatan organisasi (pemerintahan).
Penyelenggaraan pelayanan umum didasarkan pada asas umum pemerintahan yang baik dan bertujuan untuk memenuhi kewajiban negara melayani publik atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Persoalan yang timbul saat ini adalah realitas pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintah yang telah dilaksanakan di daerah, khususnya pelaksanaan fungsi pelayanan di bidang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Di Kota Mataram tidak berjalan sesuai dengan keingi
nan dan kebutuhan masyarakat khususnya pemohon IMB, ketidak puasan pemohon Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) biasanya mengeluhkan proses yang berbelit-belit, lamban dalam penanganan, biaya tinggi dan kurang cermat dalam penanganan sehingga sering kali salah dalam melakukan administrasi gambar yang akhirnya pemohon harus mengikuti prosedur tambahan / mengulang prosedur yang memperpanjang waktu penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dalam penelitian ini, dikemukakan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana proses perizinan mendirikan bangunan di kota Mataram?
2. Bagaimanakah status hukum izin mendirikan bangunan di kota Mataram?
3. Upaya apakah yang dilakukan Pemerintah Kota Mataram dalam rangka mengatasi kendala menuju pada standard pelayanan pemberian Ijin Mendirikan Bangunan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui proses perizinan mendirikan bangunan di kota Mataram
2. Untuk mengetahui status hukum izin mendirikan bangunan di kota Mataram.
3. Untuk mengetahui dan menganalisa upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Mataram dalam rangka mengatasi kendala menuju pada standard pelayanan pemberian Ijin Mendirikan Bangunan
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini antara lain adalah :
1. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan ilmu hukum, khususnya dalam bidang Hukum Administrasi Negara
2. Bagi pembangunan, hasil penelitian ini diharapkan memberikan umpan balik kepada Pemerintah Kota Mataram beserta elemen elemen yang terkait sehingga Pemerintah Kota Mataram lebih membuka diri dan mau bermitra dengan berbagai pihak baik peneliti dari kalangan perguruan tinggi, DPRD, tokoh masyarakat, LSM, dan Pengusaha dalam rangka mencari format kebijakan yang diperlukan untuk model kegiatan pemerintahan dalam pelayanan yang lebih efisien, responsif dan akuntabel.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan persepsi tentang variable yang di gunakan dalam penelitian ini, maka penulis membatasi penelitian ini dengan judul ”Penegakan Hukum Izin Mendirikan bangunan di kota Mataram”
  1. Penegakan
Penegakan Hukum Suharto yang dikutip oleh R.Abdussalam menyebutkan bahwa penegakkan hukum adalah, suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan aparat penegak hokum baik tindakan pencegahan maupun penindakan dalam menerapkan ketentuanketentuan yang berlaku guna menciptakan suasana aman, damai, dan tertib demi kepastian hukum bersama.
  1. Hukum
Menurut Daliyo, dkk, (1989: hal 30), Hukum pada dasarnya adalah (1) peraturan tingkah laku manusia, (2) yang diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib, (3) yang bersifat memaksa, harus dipatuhi, (4) dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar peraturan tersebut (sanksi itu pasti dan dapat dirasakan nyata bagi yang bersangkutan).
Hukum objektif adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara sesama anggota masyarakat. Dari sini berkembang pengertian (1) hubungan hukum, yaitu hubungan antar sesame anggota masyarakat yang diatur oleh hukum, dan (2) subyek hukum, yaitu masing-masing anggota masyarakat yang saling mengadakan hubungan hukum.
  1. izin
menurut Aminuddin Ilmar pengertian izin adalah kewenangan pemerintah untuk mengatur sesuatu hal yang berhubungan dengan peran atau tugasnya.
  1. Bangunan
Pengertian bangunan menurut M.Zain (2006:259). Bangunan adalah konstruksi teknik yang di tanam atau di letakkan secara tetap pada tanah atau perairan.
Bangunan gedung tertentu adalah bangunan gedung yang digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan gedung fungsi khusus, yang dalam pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap masyarakat dan lingkungannya
  1. Pengaruh
Pengaruh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 849 yaitu daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan dari seseorang. Sedangkan menurut Badudu dan Zain (1994:1031) pengaruh adalah daya yang menyebabkan sesuatu yang terjadi atau sesuatu yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain dan tunduk mengikuti karena kuasa atau kekuatan orang lain.
  1. Masyarakat
Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Pelayanan Publik oleh Birokrasi bagi Masyarakat
Konsepsi pelayanan administrasi pemerintahan seringkali dipergunakan secara bersama-sama atau dipakai sebagai sinonim dari konsepsi pelayanan perijinan dan pelayanan umum, serta pelayanan publik. Keempat istilah tersebut dipakai sebagai terjemahan dari publik service. Hal ini dapat dilihat dalam dokumen dokumen pemerintah sebagaimana dipakai oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.  Administrasi pemerintahan memang disejajarkan, dipakai secara silih berganti dan dipergunakan sebagai sinonim dengan pelayanan perijinan, yang merupakan terjemahan dari administrative service. Sedangkan pelayanan umum, menurut penulis lebih sesuai jika dipakai untuk menterjemahkan konsep publik service. Istilah pelayanan umum dapat disejajarkan atau dipadankan dengan pelayanan publik.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 mendefinisikan Pelayanan umum sebagai berikut :
Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan dilingkungan Badan Usaha Miiik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupundalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan {Keputusan Menpan Nomor 63/2003}.
Mengikuti definisi tersebut di atas, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa public yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di Pusat, di Daerah, dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan kelentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan perijinan dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oIeh Instansi Pemerintah Pusat, di Daerah, dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bentuk produk pelayanannya adalah ijin atau warkat.
Pelayanan publik atau pelayanan umum dan pelayanan administrasi pemerintahan atau perijinan tersebut mungkin dilakukan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat. PeIayanan publik atau pelayanan umum dan pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan perijinan juga mungkin diselenggarakan sebagai pelakasanaan peraturan perundangundangan. Misalnya karena adanya ketentuan peraturan perundangan bahwa setiap orang pribadi atau Badan untuk mendirikan suatu bangunan harus memiliki Ijin Mendirikan Bangunan.
Birokrasi merupakan sarana dan alat dalam menjalankan kegiatan pemerintahan di era masyarakat yang semakin modern dan kompleks, namun masalah yang dihadapi oleh masyarakat tersebut adalah bagaimana memperoleh dan melaksanakan pengawasan agar birokrasi dapat bekerja demi kepentingan rakyat banyak. Seperti rumusan tipe idealnya birokrasi Max Weber yang mendefinisikan birokrasi sebagai suatu bentuk organisasi yang ditandai oleh hierarki, spesialisasi, peranan dan tingkat kompetensi yang tinggi ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi peran - peran tersebut.
Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat, salah satu konsekuensinya adalah masyarakat semakin cerdas berkat aksesnya kepada pendidikan formal yang semakin tinggi. Dalam keadaan demikian tuntutan pelayanan kepada aparatur birokrasi pemerintah semakin meningkat. Peningkatan tuntutan pelayanan tersebut tidak hanya karena kebutuhan masyarakat semakin rumit, tetapi juga karena meningkatnya kesadaran masyarakat akan memperoleh haknya. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrat di indonesia jika ditinjau historisnya tidak terlepas dari adanya masa Kolonial dan masa Feodal. Pola perilaku birokrat warisan masa kolonial dan feodal yang mempengaruhi birokrasi adalah "pejabat menempatkan diri sebagai raja" Pejabat birokrasi pemerintah
adalah menganggap-sentra dari penyelesaian urusan masyarakat, rakyat sangat tergantung pada pejabat ini, bukannya pejabat yang tergantung pada rakyat. Pelayanan pada rakyat bukan diletakkan pada per
timbangan utama melainkan pada pertimbangan yang kesekian. Sikap tersebut tentunya perlu diubah kearah sikap pelayanan kepada masyarakat. Sudah barang tentu perubahan mindset, hal tersebut tidak mudah dalam kenyataannya.












 
Viktor A Thompson, Modern Organization, New York: Alfred A.Knoff , 1961, Hal. 152


Ali Mufiz, Materi Pokok Pengantar Administrasi Negara, Jakarta:Karunika, UniversitasTerbuka, 1986, Hal 177-178


Berbagai cara baik langsung maupun tidak langsung, baik penggunaan teknologi yang tidak lebih maju dan perbaikkan dibidang sarana - sarana serta peningkatan kesejahteraan pegawai secara bertahap dimaksudkan dapat meningkatkan sikap pelayanan masyarakat tersebut.
a. Birokrasi Tipe Ideal
Menurut Weber seperti dikutip dalam bukunya Ali Mufiz, birokrasi mendasarkan diri pada hubungan antara kewenangan menempatkan dan mengangkat pegawai bawahan dengan menentukan tugas dan kewajiban dimana perintah dilakukan secara tertulis, ada pengaturan mengenai hubungan kewenangan, dan promosi kepegawaian didasarkan atas aturan- aturan tertentu. Weber memusatkan perhatian pada pertanyaan: mengapa orang merasa wajib untuk mematuhi perintah tanpa melakukan penilaian kaitan dirinya dengan nilai dari perintah tersebut. Fokus ini merupakan salah satu bagian dari penekanan Weber terhadap organisasi kemasyarakatan sebagai keseluruhan dan peranan negara pada khususnya. La mengatakan bahwa kepercayaan bawahan terhadap legitimasi akan menghasilkan kestabilan pola kepatuhan dan perbedaan sumber perintah dalam sistem organisasi. Otorita tidak tergantung pada ajakan kepada kepentingan bawahan dan perhitungan untung rugi pribadi, atau pada motif suka atau tidak suka, itulah sebabnya tidak ada otorita yang tergantung pada motif - motif ideal.
b. Fungsi Birokrasi
a) fungsi pelayanan
Dalam suatu negara yang administratif, pemerintah dengan seluruh jajarannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Dalam bahasa yang sederhana peranan
tersebut diharapkan terwujud dalam pemberian berbagai jenis pelayanan yang diperlukan oleh seluruh warga masyarakat.
b) fungsi pengaturan ( regulatory funcstions )Fungsi pengaturan mutlak terselenggara dengan efektif karena kepada suatu pemerintahan negara diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang - undangan yang ditentukan oleh lembaga legislatif melalui berbagai ketentuan Pada dasarnya seringkali aparatur pemerintah bekerja berdasarkan pendekatan legalistik. Pendekatan legalistik disini antara lain ialah bahwa dalan menghadapipermasalahan, pemecahan yang dilakukan. Dengan mengeluarkan ketentuan normatif dan formal, misalnya peraturan dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Hal yang dapat timbul dengan pendekatan seperti ini, tentunya tidak ada yang salah bila aparatur pemerintah bekerja berdasarkan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
Akan tetapi pendekatan yang menjadi demikian tidak tepat apabila terdapat presepsi bahwa peraturan perundang - undangan tersebut merupakan hal yang self implementing seolah - olah dengan dikeluarkannya peraturan perundang - undangan tersebut permasalahan yang dihadapi sudah terpecahkan dengan sendirinya, padahal tidak demikian seharusnya, sehingga timbul kecenderungan untuk menerapkan peraturan perundang - undangan tersebut secara kaku.
Dalam praktik, kekakuan demikian dapat terlihat pada interpretasi secara harfiah, padahal yang lebih diperlukan adalah menegakkan hukum dan peraturan itu dilihat dari semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan situasional.
Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Jakarta: Bumi Aksara. 2000,Hal. 147
Bintoro Tjokroamiidjojo, , Pengantar Administrasi Pembangunan,Jakarta: LP3ES, 1987Hal

Menurut Peter AI Blau. & Charles H. Page seperti dikutip dalam bukunya Bintoro, birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas – tugas administratif yang besar dengan cara mengoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Sikap birokrasi disini adalah mengembangkan standar dan prosedur tata kerja dan memperinci kewenangan secara detail, kemudian dijadikan sesuatu yang rutin dan dilaksanakan secara ketat. Tidak ada tempat bagi sesuatu kebijaksanaan administratif yang mungkin sedikit menyimpang, tetapi memberikan pemecahan masalah. Melaksanakan kegiatan berdasarkan standar maupun aturannya menjadi tujuan, dan bukan alat untuk mencapai sesuatu tujuan administratif. Seringkali hal ini terkait erat dengan disiplin pelaksanaan kerja
sesuai dengan wilayah kewenangan masing masing, karena para anggota birokrasi kemudian hanya merupakan bagian dari mesin yang ketat, seringkali juga inisiatif dan gagasan baru menjadi tumpul.
Keadaan seperti ini akan tidak sesuai dengan kebutuhan proses perubahan sosial yang cepat atau tidak memberikan dorongan bagi usaha perubahan dimana standar serta aturan rutinnya itu sendiri perlu secara terus-menerus disempurnakan.
c) fungsi sebagai unsur pembaruan.
Pemerintah dengan seluruh jajarannya harus merupakan sumber ide- ide baru. Keadaan masyarakat yang semakin berkembang, tuntutan akan pelayanan semakin lama semakin berkembang pula. Kondisi demikian menuntut aparatur pemerintah harus dapat memainkan peranan yang penting. Efisiensi dan efektivitas merupakan salah satu prinsip manajemen yang harus selalu dipegang teguh, baik dalam rangka pelaksana kegiatan rutin apalagi dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, hal ini penting karena pemerintah selalu dihadapkan kepada situasi kelangkaan karena keterbatasan kemampuan menyediakan dana, sarana, prasarana, sumber daya manusia yang ahli, terampil dan keterbatasan waktu.
Birokrasi yang tertutup dan centralized menghasilkan kelangkaan keterbukaan didalamnya, oleh karena itu dalam upaya mereformasi birokrasi pemerintah yang paling mendasar ialah bagaimana bisa mengubah Mindset dan perilaku dari para pelaku birokrasi publik. Prosedur kerja yang tidak jelas atau rumit dapat menjadi sumber inefisiensi.
Menurut Josef dan Haryanto, fungsi pemerintah paling menonjol di Negara Indonesia yang menganut system desentralisasi pada daerah-daerah otonom yang mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri adalah:
a) Fungsi Pengaturan yang dapat dibuktikan dengan adanya Peraturan Daerah (Perda), yaitu yang mengatur tentang kepentingan-kepentingan daerah dan termasuk ruang lingkup yang telatn diserahkan menjadi urusan rumah tangganya sendiri.
b) Fungsi Pemberdayaan, yang proses berlangsungnya tidak dapat dipisahkan dengan fungsi pengaturan, baik ditingkat organisasi aparatur Pemerintah Daerah yang menghasilkan dana untuk kemandirian Pemerintah Daerah, maupun pada tingkat masyarakat dengan memberi rangsangan untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahn dan pembangunan.
c) Fungsi Pelayanan, yakni dalam memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
c. Determinan Kinerja Pelayanan Publik
Secara umum kinerja birokrasi pelayanan public dipengaruhi oleh faktor personal-individu dan institusional  (organisasional). Faktor personal melekat secara internal pada diri individu pegawai yang memberikan pelayanan publik seperti motivasi, kemampuan, semangat, etos kerja, dan lain-lain.
Faktor organisasional bersifat sistematik daln kelembagaan, seperti kebijakan, peraturan, kepemimpinan" sistem insentif, budaya organisasi, dan lain-
lain. Secara teoritis dapat dikemukakan sebuah hipotesa bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja meliputi faktor faktor internal dan factor ekstrnal yang terkait juga dengan potensi lingkungan fisik, ekonomi, sosial, politik dan budaya lokal.
Dalam konteks ini, penulis mengidentifikasi sejumlah faktor faktor determinan yang mempengaruhi kinerja birokrasi pelayanan publik, Profesionalisme, kepemimpinan, dikresi, budaya paternalisme, etika pelayanan dan sistem ensintif. Adapun secara jelasnya sebagai berkut :
1) Profesionalisme
Istilah profesionalisme berasal dari kata professio, Dari kata profesional tersebut lahir arti profesional quality, status, ete, yang secara komprehensip memiliki arti lapangan kerja tertentu yang diduduki oleh orang-orang yang memiliki kemampuan tertentu pula.
Warsito Utomo, Peranan Dan Strategi Peningkatan Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)Dalam Pelaksanaan Otooomi Daerah, Dalam Jurnal Iimu Sosial Dan Iimu Politik, Volume 1. 1997,

Demikian juga Korten & Alfanso seperti dikutip dalam bukunya Tjokrowinoto, yang dimaksud dengan profesionalisme adalah kecocokan (fitness) antara kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi (bureaucratic competence) dengan kebutuhan tugas (task-requirement).
Dalam pandangan Tjokrowinoto menjelaskan bahwa profesionalisme adalah kemampuan untuk merencanakan, mengkoordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efesien, inovatif, lentur dan mempunyai etos kerja tinggi.
Pandangan lain seperti Siagan menyatakan bahwa yang dimaksud derngan profesionalisme adalah keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan.
2) Kepemimpinan
Mengenai kepemimpinan, Thoha mengemukakan bahwa suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal, sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan yang ada. Ralph M. Stogdill seperti dikutip Sutarto, pengertian kepemimpinan sebagai suatu proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan sekelompok orang yang terorganisasi dalam usaha mereka menetapkan dan mencapai tujuan.
Dari pengertian tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa keberhasilan usaha mencapai tujuan organisasi sangat ditentukan oleh pola kepemimpinan yang ada, dengan empat ciri sifat utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan dalam organisasi.
1. Kecerdasan. Seorang pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari pengikutnya
2. Kedewasaan sosial dalam hubungan sosial yang luas.
Pemimpin cenderung memiliki emosi yang stabil, matang dan mempunyai kegiatan dalam perhatian yang luas
3. Motivasi diri dan dorongan berprestasi. Pemimpin secara relatif mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi, mereka bekerja keras lebih untuk nilai Instrinsik dari pada eksentrik
4. Sikap-sikap hubungan manusiawi. Seorang pemimpin yang sukses akan mengakui harga diri dan martabat pengikutnya-pengikutnya, mempunyai perhatian yang tinggi, dan berorientasi pada anggota organisasi.
3) Diskresi
Tjokrowinoto Dan Moeljarto, , Pembangunan Dilema Dan Tantangan, Yogyakarta: TiaraWacana, 1999, Hal 226
Sondang P. Siagian. Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung. , 1997, Hal 163
Miftah Thoha. Manajemen. Pembangunan Daerah Tingkat II. Jakarta:Rajawali Pres. ,1983, Hal 1
Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, Yogyakarta: Gadjahmada University Pers, , 1998 Hal 13

Diskresi, atau sering disebut keleluasaan, secara konseptual, merupakan suatu langkah yang ditempuh birokrasi untuk merampungkan kasus tertentu yang tidak akan belum diatur dalam regulasi yang baku. Dalam konteks ini, diskresi dapat berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pelayanan public kepada pengguna jasa peyanan. Diskresi penting untuk diwujudkan karena adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau regulasi tidak mungkin mampu menjangkau dan merespon kompleksitas aspek dan kepentingan
semua pihak akibat dari keterbatasan prediksi para aktor atau dalam proses perumusan. suatu kebijakan. Dengan demikian , diskresi terkait dengan otonomi birokrasi pelayanan publik untuk mengambil tindakan-tindakan secara responsif dalam proses pelayanan tanpa harus menggunakan referensi regulasi.
Hessel Nogi Dan S. Tangkisan, Manajemen Publik, Jakarta: Grasindo, 2005, Hal 204 stakeholders

4) Budaya Paternalisme
Budaya paternalisme adalah suatu sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan.
Yaitu pimpinan yang menggunakan kekuasaan atas (power over) anak buah dan sumber daya lainnya, bukan kekuasaan untuk (power to) melakukan perubahan atau mentransformasikan organisasi. Dalam paternalisme dikenal pola hubungan patron-klien atau klientelisme. Hubungan patron klien dalam arti sederhana merupakan hubungan yang sedikit banyak mempribadi (personalized), penuh kemesraan (affective) dan timbal balik antara aktor-aktor, yang ditandai dengan ketimpangan sumber daya dan termasuk transaksi saling menguntungkan.
Dalam paternalisme, pola hubungan dipandang secara hirarkis. Pihak pejabat birokrasi atau pimpinan ditempatkan lebih dominan dari pada aparat bawahan karena karena seorang pimpinan harus dapat memberikan perlindungan terhadap bawahanya. Dalam konteks system pelayanan publik, paternalisme mempunyai dua demensi.
Pertama, hubungan paternalisme antara aparat birokrasi dengan masyarakat pengguna jasa. Kedua, hubungan paternalisme yang terjadi antara pimpinan instansi atau atasan dengan para aparat staf pelakasana atau bawahan.
Paternalisme yang pertama lebih menunjuk pada hubungan yang bersifat eksternal, sedangkan paternalisme yang kedua menunjuk pada hubungan yang bersifat internal yakni di dalam organisasi birokrasi sendiri.
Konsep paternalisme birokrasi yang diciptakan memposisikan aparat bawahan sebagai anak yang berada pada struktur bawah. Seorang anak akan selalu tersubordinasi dan harus mengikuti segala kemauan dan perintah pimpinan. Hal ini menghambat pelayanan itu sendiri.
5) Sistem insentif
Salah satu faktor yang menentukan tingkat kinerja aparat pelayanan publik adalah penerapan sistem insentif. Sistem insentif merupakan elemen penting dalam suatu organisasi untuk memotivasi karyawan mencapai prestasi kerja yang diinginkan. Insentif yang diberikan kepada karyawan yang berprestasi berupa penghargaan materi maupun non materi, sedangkan karyawan yang tidak berprestasi mendapatkan disinsentif berbentuk teguran, peringatan, penundaan/penurunan pangkat, atau pemecatan. Sasaran utama penerapan sistem insentif adalah.

1. Menarik orang yang berkualifikasi untuk bergabung dalam organisasi.
2. Mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja
3. Memotivasi karyawan mencapai prestasi tinggi. dengan demikian dengan insentif diharapkan pelayanan dapat dilakukan secara prima.
B. Pemerintah Daerah Sebagai Pelaksana Birokrasi Pemerintahan di Daerah berdasarkan Otonomi Daerah.
  1. Memasuki era baru, Indonesia tampaknya harus berangkat dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Krisis ekonomi dan politik yang merambah Indonesia sejak paruh akhir 1997, tidak dapat dihindari telah memorakporandakan basis material negara yang selama ini telah dijadikan sebagai sumber utama dalam menggerakkan roda ekonomi dan politik. Lebih jauh lagi, kombinasi antara dampak krisis ekonomi dan politik juga telah mengakibatkan semakin melemahnya empat kapasitas utama negara: institusional, technical, administrative, and political capacity, yang dibutuhkan untuk menjamin kesinambungan pembangunan ekonomi dan politik.
  2. Di antara restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting untuk dikemukakan adalah adanya upaya untuk memperluas otonomi daerah dan pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis dengan UU No. 22 Tahun 1999), dan kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah Daerah. Sehingga tidak berlebihan bila fenomena yang disebut terakhir dapat diartikulasi sebagai sebuah kecenderungan yang menjanjikan sejumlah harapan dan sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah, khususnya daerah kabupaten/kota.
Dikatakan sebagai harapan yang menjanjikan bagi pemerintah daerah, karena dengan ditetapkannya UU Pemerintahan Daerah, maka akan terjadi perluasan wewenang pemerintah daerah kabupaten / Kota, dan akan tercipta peningkatan kemampuan keuangan daerah. Secara teorotis, kehadiran undang-undang tersebut cukup menjanjikan bagi terwujudnya local accountability, yakni meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya. Sebenarnya, kebijakan otonomi daerah dasar-dasarnya telah diletakkan jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di Indonesia. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi  tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal. Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang telah diperbarui, sistem pemerintahan telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peranserta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional.
Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.
Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini, telah dituangkan dalam bentuk UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan ditetapkannya UU ini, maka UU yang mengatur materi yang sama yang ada sebelumnya dan dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Derah yang sebelunnya menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 No. 38 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 1974 No.3037), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (LN Tahun 1979 No. 56 dan TLN Tahun 1979 No.3153).
Untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu, dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18 UUD 1945. Dalam keseluruhan perangkat perundang-undangan yang mengatur kebijkan otonomi daerah itu, dapat ditemukan beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan paradigma pemikiran dalam menelaah mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi di daerah, terutama dalam hubungannya dengan kegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya roda kegiatan ekonomi dalam masyarakat di daerah-daerah.
Meski demikian, perlu disadari bahwa tujuan ideal desentralisasi dan otonomi daerah tidak dengan serta merta dapat dicapai hanya dengan kehadiran undang-undang tersebut. Untuk mencapai atau paling tidak mendekati tujuan tersebut, sedikitnya ada tiga persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian khusus dalam waktu dekat yaitu :
(1) political commitment dari pemerintah pusat dan political will dari pemerintah daerah itu sendiri untuk menata kembali hubungan kekuasaan pusat-daerah.
Syarif Hidayat, “Persoalan Mendasar Implementasi Otonomi Daerah”, Harian Umum “Media Indonesia” tanggal 23 Februari 2000
 (2) Pengaturan hubungan keuangan pusat-daerah yang lebih didasari oleh ``itikad`` untuk memperkuat kemampuan keuangan daerah (bukan sebaliknya), dan ;

(3) Perubahan perilaku elite lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sedikitnya ada dua segi yang harus diperhatikan dalam penentuan arah kebijakan otonomi daerah. Pertama, adalah segi manusia yang terkait dengan kebijakan ini, di antaranya, elite politik pusat dan daerah. Kedua, segi Undang-Undang, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 yang kini telah diganti dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004. Dalam penentuan arah kebijakan otonomi daerah terdapat satu hal yang sepatutnya dihindari oleh elite politik pusat, yaitu, hasrat untuk memusatkan kembali kekuasaan. Pada era Orde Baru, sentralisme kekuasaan sangat jelas terlihat, dan sangat menguntungkan elite pusat namun merugikan bagi daerah. Rezim Orde Baru sering kali memakai alasan bahwa dilakukannya pemusatan kekuasaan tersebut adalah untuk mempertahankan stabilitas politik dan menjaga keutuhan bangsa. Yang sebenarnya terjadi ketika itu adalah ketidakadilan yang diterima daerah.
Sepatutnya pemerintahan sekarang tidak berusaha untuk mengulang kesalahan tersebut.
Kenyataan bahwa selama ini pola hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia cenderung sentralistik adalah sesuatu yang sulit untuk disangkal. Kendati kebijaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah telah diterapkan semenjak awal kemerdekaan, namun wewenang yang diserahkan kepada daerah sangat dibatasi, baik jumlah maupun ruang lingkupnya.
Otonomi Daerah, sebagai salah satu bentuk asas ‘desentralisasi’ pemerintahan, pada hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik dan lebih makmur.
Penyelenggaraan asas desentralisasi menghasilkan “Daerah Otonom”, sedangkan urusan diserahkan kepada Daerah Otonom yang menjadi hak atau wewenangnya disebut Otonomi Daerah atau otonomi saja. Otonomi Daerah atau otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu auto yang berarti sendiri dan nomes yang berarti pemerintah. Jadi, otonomi artinya pemerintahan sendiri.
Dalam kesempatan lain, Bagir Manan mendefinisikan otonomi sebagai berikut: “kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfstandingheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi otonomi.” Lebih lanjut, Bagir Manan mengatakan: “Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi bukan kemerdekaan(onafhankelijkheid indefendency). Kebebasan dan kemandirian itu adalah dalam ikatan kesatuan yang lebih besar.”
Dari pemahaman tentang otonomi daerah tersebut, maka pada hakekatnya otonomi daerah adalah:


Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, disertasi, Bandung,: UNPAD, 1990, hal 8.
1. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonomi, hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal. Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, (disertasi, Bandung,: UNPAD, 1990, hal 8.) dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah: penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri, serta pembiayaan dan pertanggungjawaban daerah sendiri, maka hak itu dikembalikan pada pihak yang memberi, dan berubah kembali menjadi urusan pemerintah (pusat);
2. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya;
3. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang disediakan kepadanya;
4. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.
Sebenarnya otonomi adalah segala tugas yang ada pada daerah atau dalam kata lain apa yang harus dikerjakan oleh Pemerintah Daerah. Adapun tugas daerah itu dalam kewenangan implisit dimana di dalamnya adalah kekuasaan, hak atau kewajiban yang diberikan kepada daerah dalam menjalankan tugasnya. Sehingga daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan, baik atas dasar penyerahan atau pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga.
Seiring dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah maka serentak diseluruh tanah air terjadi penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah dearah. Baik kepada pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Termasuk didalamnya adalah urusan Pemerintahan Daerah.
Dalam waktu sesingkat-singkatnya semua berusaha beradaptasi dengan sistem pemerintahan yang baru, perbagai potensi disiapkan guna menerima, menjalankan dan mengoptimalkan sistem otonomi daerah di wilayah termasuk diantaranya adalah mengenai urusan perijinan di Daerah secara langsung guna meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
C. Tinjauan Umum Tentang Ijin Mendirikan Bangunan
Secara teori verguning/ijin didefinisikan sebagai suatu perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan yang secara umum tidak dilarang dalam peraturan perundangundangan asalkan dilakukan sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang ditentukan dalam peraturan hukum yang berlaku.
Sedangkan perbuatan hukum publik itu sendiri memiliki pengertian suatu perbuatan yang dilakukan oleh Pejabat Administrasi Negara yang tindakannya tersebut didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan hukum publik.
Pada dasarnya mendirikan bangunan adalah sebuah perbuatan yang berbahaya, hal ini karena bangunan merupakan tempat sentral/ bagi manusia beraktifitas sehari - hari, baik ketika dirumah maupun dikantor. Kriteria bahaya tersebut muncul ketika bangunan tersebut memiliki syarat tertentu agar tidak rubuh dan mencelakai orang didalam atau disekitarnya. Bangunan didirikan dengan syarat pertimbangan dan perhitungan yang matang mengenai bentuk struktur dan kekuatan struktur serta kekuatan bahan yang digunakan. dengan demikian bangunan tersebut akan kuat dan tidak rusak/roboh mencelakai orang didalamnya.
SF Marbun dan Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta :Liberty, 2006 hal 95
 
Bangunan yang didirikan tanpa adanya perhitungan mengenai kekuatan struktur dan bahan maka akan mudah roboh dan menimbulkan bahaya bagi orang banyak. Dalam rangka melindungi keselamatan masyarakat banyak dari bahaya roboh / rusaknya bangunan maka kegiatan pembangunan harus diawasi, boleh dibangun tetapi dengan syarat tertentu. Diantara syarat itu salah satunya adalah harus kuat dari segi skruktur konstruksi dan bahan yang digunakan, apabila tidak dipenuhi maka kegiatan mendirikan bangunan itu termasuk kategori membahayakan keselamatan masyarakat sehingga ijin Mendirikan Bangunan tidak diberikan.
Pengawasan Pemerintah daerah terhadap kegiatan membangun bangunan dilaksanakan melalui pemberian ijin Mendirikan Bangunan yang dimohonkan oleh anggota masyarakat yang memberikan gambaran bangunan yang akan didirikan lengkap dengan gambar dan perhitungan struktur konstruksi. Kemudian setelah diteliti dan dipertimbangkan dengan cermat, apabila memenuhi syarat maka ijin tersebut dikeluarkan dan pemohon diwajibkan membayar retribusi guna pemasukan keuangan daerah.
D. Penerapan Hukum Dan Faktor-Faktornya
Penerapan hukum merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan cita-cita yang dikehendaki oleh hukum / pembuat undang-undang itu sendiri. Untuk mengetahui penerapan hokum dapat dilihat dari penegakan hukum itu sendiri. Adapun penegakan hukum itu efektifitasnya dipengaruhi ole beberapa faktor yang oleh Soeryono soekanto disebutkan ada setidaknya empat faktor yaitu :
1. Faktor perunang-undangan
2. Faktor aparat penegak hukum
3. Faktor sarana dan prasarana penegakan hukum
4. Faktor budaya masyarakat

BAB III
METODE PENELITIAN

A.Metode Penelitian
Untuk membahas permasalahan yang penulis ajukan dalam penelitian ini, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan Yuridis Emperis, yaitu penelitian yang menggunakan data primer dan data sekunder dengan melakukan penggalian data secara langsung dari sumbernya.
Penelitian ini juga didukung dengan pendekatan normative dengan cara meneliti bahan pustaka dengan mempelajari dan menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan.
B.Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian pada tulisan ini adalah Deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran atas sebuah permasalahan dengan melalui kegiatan analisis data penelitian. Pada tulisan ini hal yang digambarkan adalah penegakan hokum  Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan pengaruhnya terhadap masyarakat di  Kota Mataram.
C. Lokasi Penelitian
Soejono Soekamto Dan Sri Mamuji, , Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Ke II. Jakarta: Rajawali 1998, Hal 14-15


Penelitian ini akan di lakukan di wilayah Kota Mataram kawasan perumahan
D. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan dititikberatkan pada data skunder  dan juga didukung dengan data primer yang diperoleh dari penelitian secara emperis untuk menjawab permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian ini.
b. Sumber Data
Berkaitan dengan penelitian ini maka data yang digunakan yaitu sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Sumber hukum primer diperoleh dengan wawancara kepada pejabat pada instansi terkait serta melakukan pengamatan lapangan sedangkan sumber hukum sekunder antara lain berupa peraturan-peraturan, dokumen - dokumen resmi, buku- buku dan hasil penelitian yang berwujud laporan yang diperoleh dari penelitian di Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kota Mataram.
Sarana utama yang digunakan untuk memperoleh data primer ini adalah dengan melakukan serangkaian wawancara kepada Kepala Bagian Tata Pemerintahan Yang menangani IMB, tokoh masyarakat, LSM dan Pengusaha sebagai pengguna IMB.
Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan untuk dijawab secara lisan maupun tertulis sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data
Mengenai penelitian ini bertitik tolak pada data sekunder, maka langkah pertama dalam pengumpulan data yaitu dilakukan dengan cara mengadakan telaah bahan pustaka dan studi dokumen. Bahan pustaka dan dokumen ini yang diteliti berkaitan dengan permasalahan, baik yang berkaitan dengan masalah fungsi pelayanan pemerintah khususnya di bidang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) maupun berkaitan dengan kinerja pelayanan publik. Disamping itu, juga dilakukan studi lapangan melalui serangkaian wawancara pada instansi terkait, wawancara dilakukan setelah melakukan inventarisasi permasalahan secara lebih konkrit, yang berkaitan dengan pendapat para sarjana mengenai hukum Admnistrasi, literature-literatur yang berkaitan dengan fungsi pelayanan pemerintah khususnya di bidang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) maupun berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pelayanan publik untuk selanjutnya memperoleh data sebanyakbanyaknya mengenai sumber maupun informasi, yang relevan dengan pokolk permasalahan dan penelitian.
F. Metode Analisis Data
Data yang ada hasil penelitian akan dianalisa secara kualitatif dengan penguraian secara diskriptif dan preskriptif, agar penelitian ini tidak hanya menggambarkan data-data semata, tetapi juga mengungkapkan realitas mengenai pelaksanaan fungsi pemerintah khususnya di bidang Ijin Mendirikan Bangunan di Kota Mataram serta faktor - faktor yang mempengaruhi kinerja pelayanan publik, maka terdapat 3 (tiga) alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, peyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Reduksi data dapat diartikan sebagai peruses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Agar data yang diperoleh di lapangan dapat dibaca dengan baik maka hasil reduksi data tersebut dapat disajikan dalam berbagai bentuk, seperti : bagan maupun bentuk teks naratif. Dari rangkaian kegiatan seperti itu, kemudian ditarik kesimpulan-kesimpulan yang juga sekaligus diverifikasi, baik selama penelitian berlangsung maupun setelah penelitian itu dilaksanakan. Analisis data kualitatif bersifat yang bersifat deskriptif dan preskriptif ini, merupakan suatu kegiatan analisa yang bertumpu dari analisis yuridis normative dan selanjutnya secara sistematis dihubungkan dengan data emperis.

DAFTAR PUSTAKA


Ali Mufiz, Materi Pokok Pengantar Administrasi Negara, Jakarta:Karunika, Universitas Terbuka, 1986

Arto, A. Mukti, Konsepsi Ideal mahkamah Agung, Redefinisi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung untuk Membangun Indonesia Baru, Yogyakarta,:Pustaka Pelajar, 2001

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, disertasi, Bandung,: UNPAD, 1990

Bintoro Tjokroamiidjojo, , Pengantar Administrasi Pembangunan,Jakarta: LP3ES, 1987

Gibson Dkk, Organisasi Perilaku Struktur Dan Proses, Jakarta: Penerbit Erlangga 1991

Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, Peranan Pemerintah dalam  Masyarakat Masa Kini, (vide) Miriam Budiardjo (editopr), Masalah Kenegaraan, Jakarta : Gramedia, 1982

H.A.S. Natabaya, Penegakan Supremasi Hukum, Majalah Hukum Nasional Edisi No. 1-2001, Jakarta : BPHN, 2001

Hessel Nogi Dan S. Tangkisan, Manajemen Publik, Jakarta: Grasindo, 2005 Imam munawir, Azas-azas Kepemimpinan Dalam islam, Surabaya: Usaha Nasional, Tanpa Tahun Kirdi Dipoyudo, Keadilan Sosial, Jakarta : Rajawali Pers, 1985.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Lembaga Pemerintah Kota Mataram Tahun 2007

Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar ilmu politik , Jakarta : Gramedia, 1986
Miftah Thoha, Birokrasi Dan Poutik Di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 1986
Moenir, Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2001
Pamudji, Ekologi Administrasi Negara,Jakarta: Bina Aksara. 1985
Pustaka Yustitia, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga Dan Keempat (Dalam Satu Naskah) Data Wilayah Administrasi 33 Propinsi, 349 Kabupaten Dan 91 Kota Di Seluruh Indonesia, Jakarta : PT. Buku Kita, 2007.

Ronny Hanitijo Soemitro, Politik, Kekuasaan, dan Hukum, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1998

Sanusi Has, Pengantar Penologi, Medan: Monore,1976
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya, Bakti, 2000
SF Marbun dan Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Liberty, 2006

SF Marbun, Peradilan Administrasi dan upaya Administratif di Indonesia,yogyakarta : I Pres, 2003

SF. Marbun dan Moch. Mahfud, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta : Liberty, 1987

Soeharjo, Ilmu Negara , Semarang : dahara prize, 1994
Soejono Soekanto Dan Sri Mamuji, , Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Ke II. Jakarta: Rajawali 1998