BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran
tentang kesejahteraan masyarakat sebenarnya sudah ada sejak terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Alinea ke-IV Pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa
salah satu tujuan dari pembentukan Negara Republik Indonesia adalah untuk
memajukan kesejahteraan umum. Ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara pusat dan Pemerintah Daerah, yang telah diganti
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang
undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan
Pemerintah Daerah, membawa implikasi terbukanya peluang pembangunan dengan
pendekatan yang lebih sesuai dengan karakteristik wilayah. Pembangunan dengan
pendekatan tersebut akan memberi peluang pada percepatan pembangunan daerah
termasuk pembangunan daerah yang relative masih terbelakang.
![]() |
Sesuai
dengan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, melalui
Pasal 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal
2 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
antara Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Desentralisasi
dan otonomi daerah, secara normatif, mengandung semangat mendekatkan negara
pada masyarakat, antara lain melalui pemberian pelayanan publik yang lebih baik
dan lebih dekat ke masyarakat lokal.
Secara
empirik, desentralisasi dan otonomi daerah yang sudah berjalan selama ini belum
mendorong dan belum diikuti dengan perbaikan pelayan publik yang lebih baik.
Dalam penyelenggaraan pelayanan publik orientasi kekuasaan yang sangat kuat,
keadaan yang semacam ini menyebabkan birokrasi semakin jauh dari misi utamanya
untuk memberikan pelayanan publik sehingga pejabat birokrasi lebih menempatkan
dirinya sebagai penguasa daripada sebagai pelayan atau abdi masyarakat (server
/ Provider). Kondisi ini membawa implikasi pada buruknya sikap dan prilaku
birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan kepada publik, bahkan ada
kecendrungan mengabaikan kepentingan masyarakat dan aspirasi yang sangat kuat.
Berkembangnya
budaya paternalistik dalam birokrasi sebagai variabel dominan dalam
menyelenggarakan pelayanan publik elit politik, ekonomi, birokrasi dan anggota
masyarakat yang mempunyai hubungan dekat dengan birokrasi, seringkali
memperoleh kemudahan akses dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Diskriminasi
pelayanan itu seringkali mengusik rasa keadilan dalam masyarakat yang merasa
diperlakukan secara tidak wajar oleh birokrasi publik. Kesempatan dan ruang
yang dimiliki publik untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik
sangat terbatas, sehingga banyak kebijakan dan program pemerintah tidak
responsif serta mengalami kegagalan karena tidak ada dukungan dari masyarakat.
Praktek
KKN dalam kehidupan birokrasi yang selama ini terjadi di pusat, telah berpindah
kedaerah-daerah, semakin memperburuk citra birokrasi di hadapan masyarakat. Di
dalam pelayanan perijinan kepada masyarakat, pelayanan birokrasi menjadi amat
sulit dinikmati secara wajar dan bahkan membuat masyarakat membayar mahal dari
yang seharusnya.
Rendahnya
kemampuan birokrasi dalam merespon kebutuhan masyarakat serta tuntutan global
menyebabkan terjadinya krisis kepercayaan terhadap Birokrasi Publik. Hal ini
membuat kehidupan masyarakat semakin sulit dan pasif untuk berinisiatif, oleh
karena itu kreativitas aparat birokrasi sangat diperlukan dalam upaya pemulihan
kondisi kehidupan masyarakat.
Pengalaman
emperik di lapangan menunjukan bahwa penyelenggaraan pelayanaan di bidang
perijinan masih sangat jauh dalam realitasnya dari apa yang semestinya bahkan
masih suka menerima suap karena inefisiensi biaya dan waktu tunggu yang sengaja
diciptakan aparat birokrasi. Keluhan yang dirasakan warga masyarakat dalam
mengurus permohonan Ijin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disebut IMB
adalah pada persoalan kesalahan gambar bangunan, sehingga urusan menjadi lama
bahkan harus berulang kali mengajukan persyaratan. Selain itu pemberian Ijin
Mendirikan Bangunan yang untuk selanjutnya disebut IMB, selalu membutuhkan
proses mekanisme yang panjang, waktu yang lama serta birokrasi yang lamban.
Warga masyarakat yang akan mencari Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) harus
memperoleh keterangan mulai dari RT, Kelurahan, Kecamatan dan baru masuk ke
Dinas Pekerjaan Umum (bagi bangunan industri) sedangkan untuk bangunan biasa
atau bukan bangunan Industri dalam wilayah Kota Mataram diajukan kepada bagian
Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Mataram. Prosedur yang panjang ini
tentu menyita banyak energi yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa. Ketika
terjadi kesalahan gambar, prosesnya jadi semakin panjang dan lama.
Aparat
sangat lamban memperoses masalah ini. Tuntutan masyarakat semakin meningkat,
tetapi birokrasi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak pernah memberikan Respons
yang positif. Berbagai fenomena diatas, maka sangat perlu untuk menilai kinerja
birokrasi publik di Kota Mataram baik kualitas, kuantitas, efisiensi pelayanan
sehingga dapat memotivasi aparat pelaksana, mendorong pemerintah agar lebih
memperhatikan masyarakat yang dilayani.
Tuntutan
masyarakat akan tegaknya sistem pemerintahan yang baik (Good Governance) dan
pemerintahan bersih (Clean Governance) sangat ditentukan oleh ada tidaknya
suatu pelayanan yang dapat memuaskan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Sebagaimana tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar
1945 menegaskan bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan semata-mata untuk
menciptakan masyarakat sejahtera (Social Welfare) adil dan makmur, secara
sosial, ekonomi, politik dan budaya(PasaI 27, 28,29,31 dan 32).
![]() |
Pelayanan
adalah proses menyangkut segala usaha yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam rangka mencapai tujuan. Pelayanan hakekatnya adalah
serangkaian kegiatan, karena itu merupakan suatu proses. Sebagai proses,
pelayanaan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, meliputi seluruh
kehidupan orang dalam masyarakat. Pelaksanaan pelayanaan dapat diukur, oleh
karena itu dapat ditetapkan standar baik dalam waktu yang diperlukan maupun
hasilnya. Dengan adanya standar dalam pelayanan maka pada akhirnya dapat
memberikan kepuasan pada pihak-pihak yang mendapat layanan".
Pelayanan
umum adalah proses pelayanan kepada masyarakat. Menelusuri arti pelayanan umum
tidak terlepas dari masalah kepentingan umum, sehingga ada korelasi antara
pelayanan umum dan kepentingan umum. Dalam perkembangannya pelayanan umum dapat
timbul karena adanya kewajiban sebagai suatu proses penyelenggaraan kegiatan
organisasi (pemerintahan).
Penyelenggaraan
pelayanan umum didasarkan pada asas umum pemerintahan yang baik dan bertujuan
untuk memenuhi kewajiban negara melayani publik atau masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya. Persoalan yang timbul saat ini adalah realitas pelaksanaan
fungsi pelayanan pemerintah yang telah dilaksanakan di daerah, khususnya
pelaksanaan fungsi pelayanan di bidang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Di Kota
Mataram tidak berjalan sesuai dengan keingi
nan
dan kebutuhan masyarakat khususnya pemohon IMB, ketidak puasan pemohon Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB) biasanya mengeluhkan proses yang berbelit-belit,
lamban dalam penanganan, biaya tinggi dan kurang cermat dalam penanganan
sehingga sering kali salah dalam melakukan administrasi gambar yang akhirnya
pemohon harus mengikuti prosedur tambahan / mengulang prosedur yang memperpanjang
waktu penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas maka dalam penelitian ini, dikemukakan permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana proses
perizinan mendirikan bangunan di kota Mataram?
2. Bagaimanakah status
hukum izin mendirikan bangunan di kota Mataram?
3.
Upaya apakah yang dilakukan Pemerintah Kota Mataram dalam rangka mengatasi
kendala menuju pada standard pelayanan pemberian Ijin Mendirikan Bangunan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang
akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui
proses perizinan mendirikan bangunan di kota Mataram
2. Untuk mengetahui
status hukum izin mendirikan bangunan di kota Mataram.
3.
Untuk mengetahui dan menganalisa upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Mataram
dalam rangka mengatasi kendala menuju pada standard pelayanan pemberian Ijin
Mendirikan Bangunan
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini
antara lain adalah :
1.
Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat
memberikan kontribusi bagi pembangunan ilmu hukum, khususnya dalam bidang Hukum
Administrasi Negara
2.
Bagi pembangunan, hasil penelitian ini diharapkan memberikan umpan balik kepada
Pemerintah Kota Mataram beserta elemen elemen yang terkait sehingga Pemerintah
Kota Mataram lebih membuka diri dan mau bermitra dengan berbagai pihak baik
peneliti dari kalangan perguruan tinggi, DPRD, tokoh masyarakat, LSM, dan
Pengusaha dalam rangka mencari format kebijakan yang diperlukan untuk model kegiatan
pemerintahan dalam pelayanan yang lebih efisien, responsif dan akuntabel.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari
kesalahan persepsi tentang variable yang di gunakan dalam penelitian ini, maka
penulis membatasi penelitian ini dengan judul ”Penegakan Hukum Izin Mendirikan
bangunan di kota Mataram”
Penegakan Hukum Suharto
yang dikutip oleh R.Abdussalam menyebutkan bahwa penegakkan hukum adalah, suatu
rangkaian kegiatan yang dilakukan aparat penegak hokum baik tindakan pencegahan
maupun penindakan dalam menerapkan ketentuanketentuan yang berlaku guna
menciptakan suasana aman, damai, dan tertib demi kepastian hukum bersama.
- Hukum
Menurut Daliyo, dkk, (1989: hal 30),
Hukum pada dasarnya adalah (1) peraturan tingkah laku manusia, (2) yang
diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib, (3) yang bersifat memaksa, harus
dipatuhi, (4) dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar peraturan tersebut
(sanksi itu pasti dan dapat dirasakan nyata bagi yang bersangkutan).
Hukum objektif adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara sesama anggota masyarakat. Dari sini berkembang pengertian (1) hubungan hukum, yaitu hubungan antar sesame anggota masyarakat yang diatur oleh hukum, dan (2) subyek hukum, yaitu masing-masing anggota masyarakat yang saling mengadakan hubungan hukum.
Hukum objektif adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara sesama anggota masyarakat. Dari sini berkembang pengertian (1) hubungan hukum, yaitu hubungan antar sesame anggota masyarakat yang diatur oleh hukum, dan (2) subyek hukum, yaitu masing-masing anggota masyarakat yang saling mengadakan hubungan hukum.
- izin
menurut Aminuddin Ilmar pengertian izin
adalah kewenangan pemerintah untuk mengatur sesuatu hal yang berhubungan dengan
peran atau tugasnya.
- Bangunan
Pengertian
bangunan menurut M.Zain (2006:259). Bangunan adalah konstruksi teknik yang di
tanam atau di letakkan secara tetap pada tanah atau perairan.
Bangunan
gedung tertentu adalah bangunan gedung yang digunakan untuk kepentingan umum
dan bangunan gedung fungsi khusus, yang dalam pembangunan dan/atau
pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas
tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap masyarakat dan
lingkungannya
- Pengaruh
Pengaruh menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia 849 yaitu daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda)
yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan dari seseorang. Sedangkan
menurut Badudu dan Zain (1994:1031) pengaruh adalah daya yang menyebabkan
sesuatu yang terjadi atau sesuatu yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu
yang lain dan tunduk mengikuti karena kuasa atau kekuatan orang lain.
- Masyarakat
Menurut Emile Durkheim masyarakat
merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
Menurut Paul B. Horton & C.
Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup
bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu,
mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam
kelompok / kumpulan manusia tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Pelayanan Publik oleh Birokrasi
bagi Masyarakat
Konsepsi
pelayanan administrasi pemerintahan seringkali dipergunakan secara bersama-sama
atau dipakai sebagai sinonim dari konsepsi pelayanan perijinan dan pelayanan
umum, serta pelayanan publik. Keempat istilah tersebut dipakai sebagai
terjemahan dari publik service. Hal ini dapat dilihat dalam dokumen dokumen
pemerintah sebagaimana dipakai oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara. Administrasi pemerintahan memang
disejajarkan, dipakai secara silih berganti dan dipergunakan sebagai sinonim
dengan pelayanan perijinan, yang merupakan terjemahan dari administrative
service. Sedangkan pelayanan umum, menurut penulis lebih sesuai jika dipakai
untuk menterjemahkan konsep publik service. Istilah pelayanan umum dapat
disejajarkan atau dipadankan dengan pelayanan publik.
Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 yang kemudian
disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63
Tahun 2003 mendefinisikan Pelayanan umum sebagai berikut :
Segala
bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah di Pusat, di
Daerah, dan dilingkungan Badan Usaha Miiik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah
dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat maupundalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan {Keputusan Menpan Nomor 63/2003}.
Mengikuti
definisi tersebut di atas, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat
didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang
publik maupun jasa public yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan
dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di Pusat, di Daerah, dan dilingkungan Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan
kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan kelentuan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan
pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan perijinan dapat
didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan yang pada prinsipnya menjadi
tanggung jawab dan dilaksanakan oIeh Instansi Pemerintah Pusat, di Daerah, dan dilingkungan
Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, baik dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan, yang bentuk produk pelayanannya adalah ijin atau
warkat.
Pelayanan
publik atau pelayanan umum dan pelayanan administrasi pemerintahan atau
perijinan tersebut mungkin dilakukan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat. PeIayanan publik atau pelayanan umum dan pelayanan administrasi
pemerintahan atau pelayanan perijinan juga mungkin diselenggarakan sebagai
pelakasanaan peraturan perundangundangan. Misalnya karena adanya ketentuan
peraturan perundangan bahwa setiap orang pribadi atau Badan untuk mendirikan
suatu bangunan harus memiliki Ijin Mendirikan Bangunan.
Birokrasi
merupakan sarana dan alat dalam menjalankan kegiatan pemerintahan di era
masyarakat yang semakin modern dan kompleks, namun masalah yang dihadapi oleh
masyarakat tersebut adalah bagaimana memperoleh dan melaksanakan pengawasan
agar birokrasi dapat bekerja demi kepentingan rakyat banyak. Seperti rumusan
tipe idealnya birokrasi Max Weber yang mendefinisikan birokrasi sebagai suatu
bentuk organisasi yang ditandai oleh hierarki, spesialisasi, peranan dan
tingkat kompetensi yang tinggi ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih
untuk mengisi peran - peran tersebut.
Ilmu
pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat, salah satu konsekuensinya
adalah masyarakat semakin cerdas berkat aksesnya kepada pendidikan formal yang
semakin tinggi. Dalam keadaan demikian tuntutan pelayanan kepada aparatur
birokrasi pemerintah semakin meningkat. Peningkatan tuntutan pelayanan tersebut
tidak hanya karena kebutuhan masyarakat semakin rumit, tetapi juga karena
meningkatnya kesadaran masyarakat akan memperoleh haknya. Penyelenggaraan
pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrat di indonesia jika ditinjau
historisnya tidak terlepas dari adanya masa Kolonial dan masa Feodal. Pola
perilaku birokrat warisan masa kolonial dan feodal yang mempengaruhi birokrasi
adalah "pejabat menempatkan diri sebagai raja" Pejabat birokrasi
pemerintah
adalah
menganggap-sentra dari penyelesaian urusan masyarakat, rakyat sangat tergantung
pada pejabat ini, bukannya pejabat yang tergantung pada rakyat. Pelayanan pada
rakyat bukan diletakkan pada per
timbangan
utama melainkan pada pertimbangan yang kesekian. Sikap tersebut tentunya perlu
diubah kearah sikap pelayanan kepada masyarakat. Sudah barang tentu perubahan
mindset, hal tersebut tidak mudah dalam kenyataannya.
![]() |
Viktor
A Thompson, Modern Organization, New York: Alfred A.Knoff , 1961, Hal. 152
|
Ali
Mufiz, Materi Pokok Pengantar Administrasi Negara, Jakarta:Karunika,
UniversitasTerbuka, 1986, Hal 177-178
|
Berbagai
cara baik langsung maupun tidak langsung, baik penggunaan teknologi yang tidak
lebih maju dan perbaikkan dibidang sarana - sarana serta peningkatan
kesejahteraan pegawai secara bertahap dimaksudkan dapat meningkatkan sikap pelayanan
masyarakat tersebut.
a. Birokrasi Tipe Ideal

b. Fungsi Birokrasi
a)
fungsi pelayanan
Dalam
suatu negara yang administratif, pemerintah dengan seluruh jajarannya sebagai
abdi negara dan abdi masyarakat. Dalam bahasa yang sederhana peranan
tersebut
diharapkan terwujud dalam pemberian berbagai jenis pelayanan yang diperlukan
oleh seluruh warga masyarakat.
b)
fungsi pengaturan ( regulatory funcstions )Fungsi pengaturan mutlak
terselenggara dengan efektif karena kepada suatu pemerintahan negara diberi
wewenang untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang - undangan yang
ditentukan oleh lembaga legislatif melalui berbagai ketentuan Pada dasarnya
seringkali aparatur pemerintah bekerja berdasarkan pendekatan legalistik.
Pendekatan legalistik disini antara lain ialah bahwa dalan menghadapipermasalahan,
pemecahan yang dilakukan. Dengan mengeluarkan ketentuan normatif dan formal,
misalnya peraturan dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Hal yang dapat timbul
dengan pendekatan seperti ini, tentunya tidak ada yang salah bila aparatur
pemerintah bekerja berdasarkan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
Akan
tetapi pendekatan yang menjadi demikian tidak tepat apabila terdapat presepsi
bahwa peraturan perundang - undangan tersebut merupakan hal yang self
implementing seolah - olah dengan dikeluarkannya peraturan perundang - undangan
tersebut permasalahan yang dihadapi sudah terpecahkan dengan sendirinya,
padahal tidak demikian seharusnya, sehingga timbul kecenderungan untuk
menerapkan peraturan perundang - undangan tersebut secara kaku.
Dalam
praktik, kekakuan demikian dapat terlihat pada interpretasi secara harfiah,
padahal yang lebih diperlukan adalah menegakkan hukum dan peraturan itu dilihat
dari semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan situasional.
![]()
Bintoro
Tjokroamiidjojo, , Pengantar Administrasi Pembangunan,Jakarta: LP3ES, 1987Hal
|
Menurut
Peter AI Blau. & Charles H. Page seperti dikutip dalam bukunya Bintoro,
birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang
harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi
yang dimaksudkan untuk mencapai tugas – tugas administratif yang besar dengan
cara mengoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.
Sikap birokrasi disini adalah mengembangkan standar dan prosedur tata kerja dan
memperinci kewenangan secara detail, kemudian dijadikan sesuatu yang rutin dan
dilaksanakan secara ketat. Tidak ada tempat bagi sesuatu kebijaksanaan
administratif yang mungkin sedikit menyimpang, tetapi memberikan pemecahan
masalah. Melaksanakan kegiatan berdasarkan standar maupun aturannya menjadi
tujuan, dan bukan alat untuk mencapai sesuatu tujuan administratif. Seringkali
hal ini terkait erat dengan disiplin pelaksanaan kerja
sesuai
dengan wilayah kewenangan masing masing, karena para anggota birokrasi kemudian
hanya merupakan bagian dari mesin yang ketat, seringkali juga inisiatif dan
gagasan baru menjadi tumpul.
Keadaan
seperti ini akan tidak sesuai dengan kebutuhan proses perubahan sosial yang
cepat atau tidak memberikan dorongan bagi usaha perubahan dimana standar serta
aturan rutinnya itu sendiri perlu secara terus-menerus disempurnakan.
c)
fungsi sebagai unsur pembaruan.
Pemerintah
dengan seluruh jajarannya harus merupakan sumber ide- ide baru. Keadaan
masyarakat yang semakin berkembang, tuntutan akan pelayanan semakin lama
semakin berkembang pula. Kondisi demikian menuntut aparatur pemerintah harus
dapat memainkan peranan yang penting. Efisiensi dan efektivitas merupakan salah
satu prinsip manajemen yang harus selalu dipegang teguh, baik dalam rangka
pelaksana kegiatan rutin apalagi dalam penyelenggaraan pembangunan nasional,
hal ini penting karena pemerintah selalu dihadapkan kepada situasi kelangkaan
karena keterbatasan kemampuan menyediakan dana, sarana, prasarana, sumber daya
manusia yang ahli, terampil dan keterbatasan waktu.
Birokrasi
yang tertutup dan centralized menghasilkan kelangkaan keterbukaan didalamnya,
oleh karena itu dalam upaya mereformasi birokrasi pemerintah yang paling
mendasar ialah bagaimana bisa mengubah Mindset dan perilaku dari para pelaku
birokrasi publik. Prosedur kerja yang tidak jelas atau rumit dapat menjadi
sumber inefisiensi.
Menurut
Josef dan Haryanto, fungsi pemerintah paling menonjol di Negara Indonesia yang
menganut system desentralisasi pada daerah-daerah otonom yang mempunyai hak
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri adalah:
a)
Fungsi Pengaturan yang dapat dibuktikan dengan adanya Peraturan Daerah (Perda),
yaitu yang mengatur tentang kepentingan-kepentingan daerah dan termasuk ruang
lingkup yang telatn diserahkan menjadi urusan rumah tangganya sendiri.
b)
Fungsi Pemberdayaan, yang proses berlangsungnya tidak dapat dipisahkan dengan
fungsi pengaturan, baik ditingkat organisasi aparatur Pemerintah Daerah yang
menghasilkan dana untuk kemandirian Pemerintah Daerah, maupun pada tingkat
masyarakat dengan memberi rangsangan untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan
pemerintahn dan pembangunan.
c)
Fungsi Pelayanan, yakni dalam memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.
c. Determinan Kinerja
Pelayanan Publik
Secara
umum kinerja birokrasi pelayanan public dipengaruhi oleh faktor
personal-individu dan institusional
(organisasional). Faktor personal melekat secara internal pada diri
individu pegawai yang memberikan pelayanan publik seperti motivasi, kemampuan,
semangat, etos kerja, dan lain-lain.
Faktor
organisasional bersifat sistematik daln kelembagaan, seperti kebijakan,
peraturan, kepemimpinan" sistem insentif, budaya organisasi, dan lain-
lain.
Secara teoritis dapat dikemukakan sebuah hipotesa bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja meliputi faktor faktor internal dan factor ekstrnal yang
terkait juga dengan potensi lingkungan fisik, ekonomi, sosial, politik dan
budaya lokal.
Dalam
konteks ini, penulis mengidentifikasi sejumlah faktor faktor determinan yang
mempengaruhi kinerja birokrasi pelayanan publik, Profesionalisme, kepemimpinan,
dikresi, budaya paternalisme, etika pelayanan dan sistem ensintif. Adapun
secara jelasnya sebagai berkut :
1)
Profesionalisme
Istilah
profesionalisme berasal dari kata professio, Dari kata profesional tersebut lahir
arti profesional quality, status, ete, yang secara komprehensip memiliki arti lapangan
kerja tertentu yang diduduki oleh orang-orang yang memiliki kemampuan tertentu
pula.
Warsito
Utomo, Peranan Dan Strategi Peningkatan Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)Dalam
Pelaksanaan Otooomi Daerah, Dalam Jurnal Iimu Sosial Dan Iimu Politik, Volume
1. 1997,
|

Dalam
pandangan Tjokrowinoto menjelaskan bahwa profesionalisme adalah kemampuan untuk
merencanakan, mengkoordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efesien,
inovatif, lentur dan mempunyai etos kerja tinggi.
Pandangan
lain seperti Siagan menyatakan bahwa yang dimaksud derngan profesionalisme
adalah keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu
tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan
diikuti oleh pelanggan.
2)
Kepemimpinan
Mengenai
kepemimpinan, Thoha mengemukakan bahwa suatu organisasi akan berhasil atau
bahkan gagal, sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan yang ada. Ralph M.
Stogdill seperti dikutip Sutarto, pengertian kepemimpinan sebagai suatu proses
mempengaruhi kegiatan-kegiatan sekelompok orang yang terorganisasi dalam usaha
mereka menetapkan dan mencapai tujuan.
Dari
pengertian tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa keberhasilan usaha
mencapai tujuan organisasi sangat ditentukan oleh pola kepemimpinan yang ada,
dengan empat ciri sifat utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan
kepemimpinan dalam organisasi.
1.
Kecerdasan. Seorang pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi
dari pengikutnya
2.
Kedewasaan sosial dalam hubungan sosial yang luas.
Pemimpin
cenderung memiliki emosi yang stabil, matang dan mempunyai kegiatan dalam
perhatian yang luas
3.
Motivasi diri dan dorongan berprestasi. Pemimpin secara relatif mempunyai
motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi, mereka bekerja keras lebih untuk
nilai Instrinsik dari pada eksentrik
4.
Sikap-sikap hubungan manusiawi. Seorang pemimpin yang sukses akan mengakui
harga diri dan martabat pengikutnya-pengikutnya, mempunyai perhatian yang
tinggi, dan berorientasi pada anggota organisasi.
3)
Diskresi
Tjokrowinoto
Dan Moeljarto, , Pembangunan Dilema Dan Tantangan, Yogyakarta: TiaraWacana,
1999, Hal 226
Sondang
P. Siagian. Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung. , 1997, Hal 163
Miftah
Thoha. Manajemen. Pembangunan Daerah Tingkat II. Jakarta:Rajawali Pres.
,1983, Hal 1
Sutarto,
Dasar-Dasar Organisasi, Yogyakarta: Gadjahmada University Pers, , 1998 Hal 13
|
Diskresi,
atau sering disebut keleluasaan, secara konseptual, merupakan suatu langkah
yang ditempuh birokrasi untuk merampungkan kasus tertentu yang tidak akan belum
diatur dalam regulasi yang baku. Dalam konteks ini, diskresi dapat berarti
suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pelayanan
public kepada pengguna jasa peyanan. Diskresi penting untuk diwujudkan karena
adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau regulasi tidak mungkin mampu
menjangkau dan merespon kompleksitas aspek dan kepentingan
semua
pihak akibat dari keterbatasan prediksi para aktor atau dalam proses perumusan.
suatu kebijakan. Dengan demikian , diskresi terkait dengan otonomi birokrasi
pelayanan publik untuk mengambil tindakan-tindakan secara responsif dalam
proses pelayanan tanpa harus menggunakan referensi regulasi.
Hessel Nogi Dan S. Tangkisan,
Manajemen Publik, Jakarta: Grasindo, 2005, Hal 204 stakeholders
|

4)
Budaya Paternalisme
Budaya
paternalisme adalah suatu sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang
paling dominan.
Yaitu
pimpinan yang menggunakan kekuasaan atas (power over) anak buah dan sumber daya
lainnya, bukan kekuasaan untuk (power to) melakukan perubahan atau
mentransformasikan organisasi. Dalam paternalisme dikenal pola hubungan
patron-klien atau klientelisme. Hubungan patron klien dalam arti sederhana
merupakan hubungan yang sedikit banyak mempribadi (personalized), penuh
kemesraan (affective) dan timbal balik antara aktor-aktor, yang ditandai dengan
ketimpangan sumber daya dan termasuk transaksi saling menguntungkan.
Dalam
paternalisme, pola hubungan dipandang secara hirarkis. Pihak pejabat birokrasi
atau pimpinan ditempatkan lebih dominan dari pada aparat bawahan karena karena
seorang pimpinan harus dapat memberikan perlindungan terhadap bawahanya. Dalam
konteks system pelayanan publik, paternalisme mempunyai dua demensi.
Pertama,
hubungan paternalisme antara aparat birokrasi dengan masyarakat pengguna jasa.
Kedua, hubungan paternalisme yang terjadi antara pimpinan instansi atau atasan
dengan para aparat staf pelakasana atau bawahan.
Paternalisme
yang pertama lebih menunjuk pada hubungan yang bersifat eksternal, sedangkan
paternalisme yang kedua menunjuk pada hubungan yang bersifat internal yakni di
dalam organisasi birokrasi sendiri.
Konsep
paternalisme birokrasi yang diciptakan memposisikan aparat bawahan sebagai anak
yang berada pada struktur bawah. Seorang anak akan selalu tersubordinasi dan
harus mengikuti segala kemauan dan perintah pimpinan. Hal ini menghambat
pelayanan itu sendiri.
5)
Sistem insentif
Salah
satu faktor yang menentukan tingkat kinerja aparat pelayanan publik adalah
penerapan sistem insentif. Sistem insentif merupakan elemen penting dalam suatu
organisasi untuk memotivasi karyawan mencapai prestasi kerja yang diinginkan.
Insentif yang diberikan kepada karyawan yang berprestasi berupa penghargaan
materi maupun non materi, sedangkan karyawan yang tidak berprestasi mendapatkan
disinsentif berbentuk teguran, peringatan, penundaan/penurunan pangkat, atau
pemecatan. Sasaran utama penerapan sistem insentif adalah.
1.
Menarik orang yang berkualifikasi untuk bergabung dalam organisasi.
2.
Mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja
3.
Memotivasi karyawan mencapai prestasi tinggi. dengan demikian dengan insentif
diharapkan pelayanan dapat dilakukan secara prima.
B. Pemerintah
Daerah Sebagai Pelaksana Birokrasi Pemerintahan di Daerah berdasarkan Otonomi
Daerah.
- Memasuki era baru, Indonesia tampaknya harus berangkat dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Krisis ekonomi dan politik yang merambah Indonesia sejak paruh akhir 1997, tidak dapat dihindari telah memorakporandakan basis material negara yang selama ini telah dijadikan sebagai sumber utama dalam menggerakkan roda ekonomi dan politik. Lebih jauh lagi, kombinasi antara dampak krisis ekonomi dan politik juga telah mengakibatkan semakin melemahnya empat kapasitas utama negara: institusional, technical, administrative, and political capacity, yang dibutuhkan untuk menjamin kesinambungan pembangunan ekonomi dan politik.
- Di antara restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting untuk dikemukakan adalah adanya upaya untuk memperluas otonomi daerah dan pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis dengan UU No. 22 Tahun 1999), dan kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah Daerah. Sehingga tidak berlebihan bila fenomena yang disebut terakhir dapat diartikulasi sebagai sebuah kecenderungan yang menjanjikan sejumlah harapan dan sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah, khususnya daerah kabupaten/kota.
Dikatakan
sebagai harapan yang menjanjikan bagi pemerintah daerah, karena dengan
ditetapkannya UU Pemerintahan Daerah, maka akan terjadi perluasan wewenang
pemerintah daerah kabupaten / Kota, dan akan tercipta peningkatan kemampuan
keuangan daerah. Secara teorotis, kehadiran undang-undang tersebut cukup
menjanjikan bagi terwujudnya local accountability, yakni meningkatkan kemampuan
pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya. Sebenarnya,
kebijakan otonomi daerah dasar-dasarnya telah diletakkan jauh sebelum
terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi
besar-besaran di Indonesia. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih
bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya
reformasi yang disertai pula oleh gelombang tuntutan ketidakpuasan masyarakat
di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang
dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain kecuali mempercepat pelaksanaan
kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang
diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.
Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang telah
diperbarui, sistem pemerintahan telah memberikan keleluasaan yang sangat luas
kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi
daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peranserta
masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang
berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi
daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal,
nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan
kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah
yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional.
Pelaksanaan
otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan,
serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.
Kebijakan
nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini, telah dituangkan
dalam bentuk UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan
UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan
ditetapkannya UU ini, maka UU yang mengatur materi yang sama yang ada
sebelumnya dan dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan,
dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi
itu adalah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Derah yang
sebelunnya menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 No. 38 dan
Tambahan Lembaran Negara Tahun 1974 No.3037), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa (LN Tahun 1979 No. 56 dan TLN Tahun 1979 No.3153).
Untuk
memperkuat kebijakan otonomi daerah itu, dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000
telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam
Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip
otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian
dan keprakarsaan dari daerah-daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan
otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari
pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini telah
dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18 UUD 1945. Dalam keseluruhan
perangkat perundang-undangan yang mengatur kebijkan otonomi daerah itu, dapat
ditemukan beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan paradigma pemikiran dalam
menelaah mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi di daerah, terutama
dalam hubungannya dengan kegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya roda
kegiatan ekonomi dalam masyarakat di daerah-daerah.
Meski
demikian, perlu disadari bahwa tujuan ideal desentralisasi dan otonomi daerah
tidak dengan serta merta dapat dicapai hanya dengan kehadiran undang-undang
tersebut. Untuk mencapai atau paling tidak mendekati tujuan tersebut,
sedikitnya ada tiga persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian khusus
dalam waktu dekat yaitu :
(1)
political commitment dari pemerintah pusat dan political will dari pemerintah
daerah itu sendiri untuk menata kembali hubungan kekuasaan pusat-daerah.
Syarif Hidayat,
“Persoalan Mendasar Implementasi Otonomi Daerah”, Harian Umum “Media
Indonesia” tanggal 23 Februari 2000
|

(3)
Perubahan perilaku elite lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sedikitnya
ada dua segi yang harus diperhatikan dalam penentuan arah kebijakan otonomi
daerah. Pertama, adalah segi manusia yang terkait dengan kebijakan ini, di
antaranya, elite politik pusat dan daerah. Kedua, segi Undang-Undang, yaitu UU
No. 22 Tahun 1999 yang kini telah diganti dengan undang-undang nomor 32 tahun
2004. Dalam penentuan arah kebijakan otonomi daerah terdapat satu hal yang
sepatutnya dihindari oleh elite politik pusat, yaitu, hasrat untuk memusatkan kembali
kekuasaan. Pada era Orde Baru, sentralisme kekuasaan sangat jelas terlihat, dan
sangat menguntungkan elite pusat namun merugikan bagi daerah. Rezim Orde Baru
sering kali memakai alasan bahwa dilakukannya pemusatan kekuasaan tersebut
adalah untuk mempertahankan stabilitas politik dan menjaga keutuhan bangsa.
Yang sebenarnya terjadi ketika itu adalah ketidakadilan yang diterima daerah.
Sepatutnya
pemerintahan sekarang tidak berusaha untuk mengulang kesalahan tersebut.
Kenyataan
bahwa selama ini pola hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah di
Indonesia cenderung sentralistik adalah sesuatu yang sulit untuk disangkal.
Kendati kebijaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah telah diterapkan
semenjak awal kemerdekaan, namun wewenang yang diserahkan kepada daerah sangat
dibatasi, baik jumlah maupun ruang lingkupnya.
Otonomi
Daerah, sebagai salah satu bentuk asas ‘desentralisasi’ pemerintahan, pada
hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan,
yaitu upaya untuk mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk
mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik dan lebih makmur.
Penyelenggaraan
asas desentralisasi menghasilkan “Daerah Otonom”, sedangkan urusan diserahkan
kepada Daerah Otonom yang menjadi hak atau wewenangnya disebut Otonomi Daerah
atau otonomi saja. Otonomi Daerah atau otonomi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu auto yang berarti sendiri dan nomes yang berarti pemerintah. Jadi,
otonomi artinya pemerintahan sendiri.
Dalam
kesempatan lain, Bagir Manan mendefinisikan otonomi sebagai berikut: “kebebasan
dan kemandirian (vrijheid dan zelfstandingheid) satuan pemerintahan lebih
rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan
pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi
atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah
tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi otonomi.” Lebih
lanjut, Bagir Manan mengatakan: “Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi bukan
kemerdekaan(onafhankelijkheid indefendency). Kebebasan dan kemandirian itu adalah
dalam ikatan kesatuan yang lebih besar.”
Dari
pemahaman tentang otonomi daerah tersebut, maka pada hakekatnya otonomi daerah
adalah:
Bagir Manan, Hubungan
Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945,
disertasi, Bandung,: UNPAD, 1990, hal 8.
|
1.
Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonomi, hak tersebut
bersumber dari wewenang pangkal. Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah
Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, (disertasi, Bandung,: UNPAD,
1990, hal 8.) dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada
daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan
inti keotonomian suatu daerah: penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri,
serta pembiayaan dan pertanggungjawaban daerah sendiri, maka hak itu
dikembalikan pada pihak yang memberi, dan berubah kembali menjadi urusan
pemerintah (pusat);
2.
Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri,
daerah dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas
wilayah daerahnya;
3.
Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah
lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang disediakan kepadanya;
4.
Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lain.
Sebenarnya
otonomi adalah segala tugas yang ada pada daerah atau dalam kata lain apa yang
harus dikerjakan oleh Pemerintah Daerah. Adapun tugas daerah itu dalam
kewenangan implisit dimana di dalamnya adalah kekuasaan, hak atau kewajiban
yang diberikan kepada daerah dalam menjalankan tugasnya. Sehingga daerah akan
memiliki sejumlah urusan pemerintahan, baik atas dasar penyerahan atau
pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga.
Seiring
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
daerah maka serentak diseluruh tanah air terjadi penyerahan sebagian kewenangan
pemerintah pusat kepada pemerintah dearah. Baik kepada pemerintah provinsi
maupun pemerintah kabupaten/kota. Termasuk didalamnya adalah urusan
Pemerintahan Daerah.
Dalam
waktu sesingkat-singkatnya semua berusaha beradaptasi dengan sistem
pemerintahan yang baru, perbagai potensi disiapkan guna menerima, menjalankan
dan mengoptimalkan sistem otonomi daerah di wilayah termasuk diantaranya adalah
mengenai urusan perijinan di Daerah secara langsung guna meningkatkan tingkat
kesejahteraan masyarakat.
C. Tinjauan Umum Tentang Ijin Mendirikan Bangunan
Secara
teori verguning/ijin didefinisikan sebagai suatu perbuatan administrasi negara
yang memperkenankan perbuatan yang secara umum tidak dilarang dalam peraturan
perundangundangan asalkan dilakukan sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang
ditentukan dalam peraturan hukum yang berlaku.
Sedangkan
perbuatan hukum publik itu sendiri memiliki pengertian suatu perbuatan yang
dilakukan oleh Pejabat Administrasi Negara yang tindakannya tersebut didasarkan
pada peraturan perundang-undangan dan hukum publik.
Pada
dasarnya mendirikan bangunan adalah sebuah perbuatan yang berbahaya, hal ini
karena bangunan merupakan tempat sentral/ bagi manusia beraktifitas sehari -
hari, baik ketika dirumah maupun dikantor. Kriteria bahaya tersebut muncul
ketika bangunan tersebut memiliki syarat tertentu agar tidak rubuh dan
mencelakai orang didalam atau disekitarnya. Bangunan didirikan dengan syarat
pertimbangan dan perhitungan yang matang mengenai bentuk struktur dan kekuatan
struktur serta kekuatan bahan yang digunakan. dengan demikian bangunan tersebut
akan kuat dan tidak rusak/roboh mencelakai orang didalamnya.
|

Pengawasan
Pemerintah daerah terhadap kegiatan membangun bangunan dilaksanakan melalui
pemberian ijin Mendirikan Bangunan yang dimohonkan oleh anggota masyarakat yang
memberikan gambaran bangunan yang akan didirikan lengkap dengan gambar dan
perhitungan struktur konstruksi. Kemudian setelah diteliti dan dipertimbangkan
dengan cermat, apabila memenuhi syarat maka ijin tersebut dikeluarkan dan
pemohon diwajibkan membayar retribusi guna pemasukan keuangan daerah.
D. Penerapan Hukum Dan Faktor-Faktornya
Penerapan
hukum merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan cita-cita yang dikehendaki oleh
hukum / pembuat undang-undang itu sendiri. Untuk mengetahui penerapan hokum
dapat dilihat dari penegakan hukum itu sendiri. Adapun penegakan hukum itu
efektifitasnya dipengaruhi ole beberapa faktor yang oleh Soeryono soekanto
disebutkan ada setidaknya empat faktor yaitu :
1.
Faktor perunang-undangan
2.
Faktor aparat penegak hukum
3.
Faktor sarana dan prasarana penegakan hukum
4.
Faktor budaya masyarakat
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.Metode Penelitian
Untuk
membahas permasalahan yang penulis ajukan dalam penelitian ini, pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan Yuridis Emperis, yaitu penelitian yang menggunakan
data primer dan data sekunder dengan melakukan penggalian data secara langsung
dari sumbernya.
Penelitian
ini juga didukung dengan pendekatan normative dengan cara meneliti bahan
pustaka dengan mempelajari dan menelaah teori-teori, konsep-konsep serta
peraturan yang berkaitan dengan permasalahan.
B.Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi
penelitian pada tulisan ini adalah Deskriptif analitis yaitu penelitian yang
bertujuan memberikan gambaran atas sebuah permasalahan dengan melalui kegiatan
analisis data penelitian. Pada tulisan ini hal yang digambarkan adalah
penegakan hokum Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB) dan pengaruhnya terhadap masyarakat di
Kota Mataram.
C. Lokasi Penelitian
![]() |
Penelitian ini akan di
lakukan di wilayah Kota Mataram kawasan perumahan
D. Jenis dan Sumber Data
a.
Jenis Data
Dalam
penelitian ini jenis data yang digunakan dititikberatkan pada data skunder dan juga didukung dengan data primer yang
diperoleh dari penelitian secara emperis untuk menjawab permasalahan pokok yang
dikaji dalam penelitian ini.
b.
Sumber Data
Berkaitan
dengan penelitian ini maka data yang digunakan yaitu sumber hukum primer dan
sumber hukum sekunder. Sumber hukum primer diperoleh dengan wawancara kepada
pejabat pada instansi terkait serta melakukan pengamatan lapangan sedangkan
sumber hukum sekunder antara lain berupa peraturan-peraturan, dokumen - dokumen
resmi, buku- buku dan hasil penelitian yang berwujud laporan yang diperoleh
dari penelitian di Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kota Mataram.
Sarana
utama yang digunakan untuk memperoleh data primer ini adalah dengan melakukan
serangkaian wawancara kepada Kepala Bagian Tata Pemerintahan Yang menangani
IMB, tokoh masyarakat, LSM dan Pengusaha sebagai pengguna IMB.
Wawancara
yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengajukan sejumlah
pertanyaan untuk dijawab secara lisan maupun tertulis sesuai dengan maksud dan
tujuan penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data
Mengenai
penelitian ini bertitik tolak pada data sekunder, maka langkah pertama dalam
pengumpulan data yaitu dilakukan dengan cara mengadakan telaah bahan pustaka
dan studi dokumen. Bahan pustaka dan dokumen ini yang diteliti berkaitan dengan
permasalahan, baik yang berkaitan dengan masalah fungsi pelayanan pemerintah
khususnya di bidang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) maupun berkaitan dengan
kinerja pelayanan publik. Disamping itu, juga dilakukan studi lapangan melalui
serangkaian wawancara pada instansi terkait, wawancara dilakukan setelah
melakukan inventarisasi permasalahan secara lebih konkrit, yang berkaitan
dengan pendapat para sarjana mengenai hukum Admnistrasi, literature-literatur
yang berkaitan dengan fungsi pelayanan pemerintah khususnya di bidang Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB) maupun berkaitan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja pelayanan publik untuk selanjutnya memperoleh data
sebanyakbanyaknya mengenai sumber maupun informasi, yang relevan dengan pokolk
permasalahan dan penelitian.
F. Metode Analisis Data
Data
yang ada hasil penelitian akan dianalisa secara kualitatif dengan penguraian
secara diskriptif dan preskriptif, agar penelitian ini tidak hanya
menggambarkan data-data semata, tetapi juga mengungkapkan realitas mengenai
pelaksanaan fungsi pemerintah khususnya di bidang Ijin Mendirikan Bangunan di
Kota Mataram serta faktor - faktor yang mempengaruhi kinerja pelayanan publik,
maka terdapat 3 (tiga) alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu
reduksi data, peyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Reduksi
data dapat diartikan sebagai peruses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan. Agar data yang diperoleh di lapangan
dapat dibaca dengan baik maka hasil reduksi data tersebut dapat disajikan dalam
berbagai bentuk, seperti : bagan maupun bentuk teks naratif. Dari rangkaian
kegiatan seperti itu, kemudian ditarik kesimpulan-kesimpulan yang juga
sekaligus diverifikasi, baik selama penelitian berlangsung maupun setelah
penelitian itu dilaksanakan. Analisis data kualitatif bersifat yang bersifat
deskriptif dan preskriptif ini, merupakan suatu kegiatan analisa yang bertumpu
dari analisis yuridis normative dan selanjutnya secara sistematis dihubungkan
dengan data emperis.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Mufiz,
Materi Pokok Pengantar Administrasi Negara, Jakarta:Karunika, Universitas
Terbuka, 1986
Arto, A. Mukti,
Konsepsi Ideal mahkamah Agung, Redefinisi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung untuk
Membangun Indonesia Baru, Yogyakarta,:Pustaka Pelajar, 2001
Bagir Manan,
Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD
1945, disertasi, Bandung,: UNPAD, 1990
Bintoro
Tjokroamiidjojo, , Pengantar Administrasi Pembangunan,Jakarta: LP3ES, 1987
Gibson Dkk,
Organisasi Perilaku Struktur Dan Proses, Jakarta: Penerbit Erlangga 1991
Gwendolen M.
Carter dan John H. Herz, Peranan Pemerintah dalam Masyarakat Masa Kini, (vide) Miriam Budiardjo
(editopr), Masalah Kenegaraan, Jakarta : Gramedia, 1982
H.A.S. Natabaya,
Penegakan Supremasi Hukum, Majalah Hukum Nasional Edisi No. 1-2001, Jakarta :
BPHN, 2001
Hessel Nogi Dan
S. Tangkisan, Manajemen Publik, Jakarta: Grasindo, 2005 Imam munawir, Azas-azas
Kepemimpinan Dalam islam, Surabaya: Usaha Nasional, Tanpa Tahun Kirdi Dipoyudo,
Keadilan Sosial, Jakarta : Rajawali Pers, 1985.
Laporan
Akuntabilitas Kinerja Lembaga Pemerintah Kota Mataram Tahun 2007
Mariam
Budiardjo, Dasar-Dasar ilmu politik , Jakarta : Gramedia, 1986
Miftah Thoha,
Birokrasi Dan Poutik Di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003
Miriam
Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 1986
Moenir,
Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2001
Pamudji,
Ekologi Administrasi Negara,Jakarta: Bina Aksara. 1985
Pustaka
Yustitia, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga
Dan Keempat (Dalam Satu Naskah) Data Wilayah Administrasi 33 Propinsi, 349 Kabupaten
Dan 91 Kota Di Seluruh Indonesia, Jakarta : PT. Buku Kita, 2007.
Ronny Hanitijo
Soemitro, Politik, Kekuasaan, dan Hukum, Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 1998
Sanusi
Has, Pengantar Penologi, Medan: Monore,1976
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya, Bakti, 2000
SF Marbun dan
Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Liberty, 2006
SF Marbun,
Peradilan Administrasi dan upaya Administratif di Indonesia,yogyakarta : I
Pres, 2003
SF. Marbun dan
Moch. Mahfud, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta :
Liberty, 1987
Soeharjo,
Ilmu Negara , Semarang : dahara prize, 1994
Soejono Soekanto
Dan Sri Mamuji, , Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan
Ke II. Jakarta: Rajawali 1998